Kubu Konservatif Menang Pemilu Jerman, Friedrich Merz Jadi Kanselir?

Friedrich Merz ditetapkan sebagai kanselir Jerman berikutnya setelah kubu oposisi konservatif, partai CDU/CSU, meraih kemenangan dalam pemilihan umum yang berlangsung pada Minggu, 23 Februari 2025. Dalam pemilihan bersejarah ini, Merz, yang berusia 69 tahun, menghadapi tantangan besar dalam membentuk koalisi pemerintah, terutama di tengah kelemahan aliansi pemerintahan sebelumnya yang dipimpin oleh Kanselir Olaf Scholz.

Hasil pemilu menunjukkan bahwa partai sayap kanan, Alternative for Germany (AfD), memperoleh suara terbanyak kedua. Ini membentuk dilema bagi Merz dan partainya, karena sejumlah partai arus utama di Jerman menolak untuk berkolaborasi dengan AfD. Partai tersebut mendapat dukungan signifikan dari tokoh-tokoh konservatif di AS, termasuk Elon Musk dan mantan Presiden Donald Trump. Hal ini menunjukkan polaritas yang semakin tajam dalam politik Jerman, yang telah terpengaruh oleh perkembangan internasional dan sentimen nasionalis.

Kemenangan Merz datang pada saat yang sulit bagi Jerman sebagai ekonomi terbesar di Eropa. Negara ini dihadapkan pada berbagai tantangan, termasuk isu migrasi yang kontroversial dan relasi yang rumit dengan Rusia dan China. Dalam konteks ini, mantan ketua fraksi CDU itu mengisyaratkan akan memprioritaskan agenda yang lebih mengedepankan kepentingan Eropa, seiring dengan kritiknya yang tajam terhadap sikap AS yang menurutnya ‘tidak peduli’ terhadap nasib negara-negara Eropa.

Merz berjanji untuk memperkuat posisi Eropa dalam kancah global dan memulai proses menuju kemerdekaan sejati dari pengaruh AS. Ia bahkan mengajukan pertanyaan kritis mengenai masa depan NATO dan apakah aliansi tersebut masih relevan dalam bentuknya yang sekarang. Ini menyoroti keinginan Merz untuk memformulasikan kebijakan luar negeri yang lebih mandiri bagi Jerman dan Eropa secara keseluruhan.

Meskipun menjadi blok terbesar, posisi Merz dalam negosiasi koalisi tidak sepenuhnya kuat. Perolehan suara partai CDU/CSU adalah yang terburuk kedua sejak akhir Perang Dunia Kedua, sehingga complicating faktor pembentukan koalisi. Merz dihadapkan pada kemungkinan harus mencari satu atau dua mitra untuk membentuk mayoritas, sementara hasil pemilu bagi partai-partai lain juga beragam. Partai Sosial Demokrat (SPD) yang dipimpin oleh Scholz meraih hasil terburuk mereka dalam sejarah modern dengan hanya 16,5% suara, sedangkan Partai Hijau memperoleh 11,8%.

Bagi partai sayap kiri Die Linke, dukungan tidak terduga dari pemilih muda membawa mereka meraih 8,7% suara. Sementara itu, Partai Demokrat Bebas (FDP) dan partai baru yang dipimpin Sahra Wagenknecht, Aliansi Sahra Wagenknecht (BSW), berada di dekat ambang batas 5% untuk mendapatkan kursi di parlemen. Partisipasi pemilih yang signifikan mencapai 83%, merupakan angka tertinggi sejak reunifikasi Jerman pada tahun 1990.

Situasi ini muncul setelah koalisi pemerintah Scholz yang terdiri dari SPD, Partai Hijau, dan FDP runtuh pada November tahun lalu akibat sengketa mengenai pengeluaran anggaran. Dengan Merz sebagai kanselir baru, proses pembicaraan koalisi diperkirakan akan berlangsung lama, berpotensi membuat Scholz berperan sebagai pejabat sementara selama berbulan-bulan. Keadaan tersebut tidak hanya akan menghambat kebijakan domestik, tetapi juga dapat menciptakan kekosongan kepemimpinan di tingkat Eropa.

Sementara Friedrich Merz bersiap untuk mengambil alih jabatan kunci, jelas bahwa tantangan besar di depan tidak hanya akan mewarnai kebijakan domestik Jerman, tetapi juga akan berdampak pada dinamika politik Eropa. Keberhasilan dalam membentuk koalisi yang stabil dan mampu menangani isu-isu strategis akan menjadi kunci bagi masa depan pemerintahan Merz.

Exit mobile version