Bank Indonesia (BI) telah memutuskan untuk menghentikan insentif kebijakan likuiditas makroprudensial (KLM) untuk pembiayaan sektor hilirisasi mineral dan batu bara mulai Januari 2025. Kebijakan ini berdampak pada sektor yang selama ini mendapat dukungan karena dianggap memiliki potensi penyerapan tenaga kerja yang tinggi. Menurut Nugroho Joko Prastowo, Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, keputusan ini merupakan bagian dari alokasi insentif yang lebih fokus pada hilirisasi sektor pertanian dan padat karya lainnya, sesuai dengan arahan Presiden Prabowo Subianto.
“Kami ingin memastikan bahwa insentif yang diberikan tepat sasaran. Meskipun untuk minerba sudah tidak diberikan, kami akan tetap mendukung hilirisasi pangan dan sektor produktif lainnya,” ungkap Nugroho dalam Pelatihan Wartawan BI di Aceh baru-baru ini.
Dalam catatan Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kredit bank umum untuk sektor pertambangan dan penggalian pada November 2024 mencapai Rp360,7 triliun. Angka ini tumbuh signifikan sebesar 30,41% secara tahunan dibandingkan dengan Rp276,58 triliun pada tahun sebelumnya. Porsi kredit terhadap total penyaluran kredit perbankan yang tercatat sebesar Rp7.816,67 triliun memberikan kontribusi sebesar 4,61% bagi sektor ekonomi.
Meski pertumbuhan kredit di sektor ini cukup menggembirakan, sektor pertambangan juga menyaksikan penurunan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) yang signifikan. OJK mencatat bahwa NPL untuk sektor pertambangan dan penggalian turun dari 2,13% menjadi 1,28%, dengan penurunan nominal NPL mencapai Rp1,37 triliun. Permintaan yang tinggi dalam subsektor batu bara dan gasifikasi batu bara diperkirakan menjadi salah satu faktor yang mendukung perbaikan risiko kredit ini.
“Perbaikan rasio NPL tersebut utamanya didorong oleh subsektor pertambangan batu bara, penggalian gambut, gasifikasi batu bara, dan pembuatan briket batu bara,” jelas OJK dalam laporan Surveillance Perbankan Indonesia Kuartal III/2024.
Sementara itu, bank-bank besar di Indonesia, seperti PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BNI), mengaku masih memegang portofolio kredit yang cukup besar dalam sektor mineral dan batu bara. Direktur Utama BNI, Royke Tumilaar, menjelaskan bahwa pengalaman BNI dalam menyalurkan pembiayaan hilirisasi mineral dan batu bara telah menghasilkan portofolio kredit sebesar Rp60 triliun.
“Kami telah berinvestasi secara signifikan dalam sektor ini. Kami percaya bahwa hilirisasi adalah langkah penting untuk meningkatkan nilai tambah dan menciptakan lapangan kerja,” kata Royke dalam pemaparan kinerja keuangan BNI 2024.
Tindakan BI untuk menghentikan insentif KLM pada sektor minerba menarik perhatian bagi pelaku industri dan ekonom. Banyak yang mempertanyakan bagaimana sektor ini akan beradaptasi dengan perubahan kebijakan ini, terutama setelah mengalami pertumbuhan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun sektor pertambangan menyumbang persentase yang tidak kecil terhadap total kredit perbankan, ada kekhawatiran tentang keberlanjutan pertumbuhan tanpa dukungan insentif.
Dalam konteks ekonomi yang terus berkembang, keputusan ini diperkirakan akan memaksa perusahaan-perusahaan di sektor minerba untuk lebih inovatif dalam mencari pendanaan. Hal ini juga menciptakan tantangan bagi pihak perbankan dalam beradaptasi dengan pengurangan insentif yang selama ini melandasi pertumbuhan kredit di sektor hilirisasi.
Transisi kebijakan ini datang di tengah hentakan global terhadap energi berkelanjutan dan kebutuhan untuk mengurangi ketergantungan pada sumber daya fosil. Dengan berakhirnya insentif KLM untuk sektor mineral dan batu bara, fokus terhadap sektor pertanian dan padat karya menunjukkan upaya pemerintah untuk mendorong perekonomian yang lebih berkelanjutan dan inklusif. Ini bisa jadi langkah penting bagi sektor-sektor yang diyakini bisa memberikan dampak lebih besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat luas.