Komisi VI Minta Pertamina Kompensasi, Erick Thohir Beri Tanggapan

Menteri BUMN, Erick Thohir, memberikan tanggapan tegas terhadap pengajuan permintaan kompensasi dari Komisi VI DPR RI terkait dugaan kasus korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina. Diskusi tersebut terjadi dalam konteks meningkatnya ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan Pertamina, terlebih saat bulan suci Ramadan.

Pada rapat dengar pendapat (RDP) yang berlangsung di Komplek Parlemen Senayan, Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, mendapatkan banyak pertanyaan dari anggota Komisi VI. Mereka mempertanyakan kebijakan Pertamina, terutama menyangkut permasalahan yang kini menjadi sorotan publik, yakni dugaan korupsi dan praktik kecurangan dalam distribusi produk seperti Pertamax.

Anggota Komisi VI dari Fraksi PDI-P, Mufti Anam, menyatakan ketidakpuasannya terhadap penjelasan yang diberikan Simon. Ia mencatat keinginan masyarakat untuk mendapatkan klarifikasi lebih terkait isu ini, mengingat banyak pelanggan yang merasa tertipu selama bertahun-tahun. “Seluruh rakyat marah, Pak. Mereka merasa dibohongi oleh Pertamina. Ini sudah menjadi keluh kesah setiap hari,” ujarnya, menunjukkan tingkat kekecewaan masyarakat yang tinggi.

Menanggapi permintaan kompensasi dan berbagai keluhan tersebut, Erick Thohir menegaskan bahwa BUMN seperti Pertamina memiliki mekanisme tersendiri dalam mengambil keputusan. “Tentukan mekanisme yang ada di pemerintahan, di DPR, ataupun di Pertamina. Tentu semua juga perlu kajian,” ungkap Erick saat ditemui di kantornya pada Rabu (12/3/2025).

Erick juga menekankan pentingnya memisahkan antara manajemen bisnis Pertamina dengan kasus korupsi yang mungkin menjadi sorotan. Ia memberikan perumpamaan mengenai kasus korupsi di Garuda Indonesia, di mana proses restrukturisasi keuangan dan penyelesaian masalah tersebut berjalan secara paralel. “Operasional korporasi dengan kasus korupsi itu berjalan sendiri-sendiri. Kami mendukung tindakan tegas terhadap korupsi,” tegasnya.

Isu pertanggungjawaban Pertamina menjadi semakin mendalam, terutama ketika masyarakat merasa dirugikan akibat tindakan yang dianggap tidak transparan dan jujur. Para anggota Komisi VI, termasuk Mufti, menuntut adanya penjelasan mengenai kebijakan yang diambil Pertamina serta dampaknya terhadap konsumen. Suara hati masyarakat ini, menurut Mufti, mencerminkan kegundahan yang telah lama ada.

Di tengah situasi ini, Pertamina dinilai perlu melakukan upaya kongkret untuk memperbaiki citranya. Erick menyarankan agar manajemen Pertamina tidak hanya fokus pada perbaikan administrasi, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan dan langkah-langkah yang diambil tidak mengganggu proses restrukturisasi perusahaan. “Enggak boleh ada hal yang menghambat perbaikan, baik dari segi manajemen korporasi maupun integritas,” tambahnya.

Kasus ini menyoroti tantangan yang dihadapi oleh Pertamina, sebuah entitas BUMN yang memiliki tanggung jawab signifikan dalam sektor energi nasional. Ketidakpuasan yang meluas ini menjadi sorotan di tengah upaya pemerintah untuk mencegah praktik korupsi yang menyebabkan kerugian besar bagi negara dan masyarakat.

Sementara itu, situasi ini menunjukkan bahwa Pemerintah, dalam hal ini Kementerian BUMN, berkomitmen untuk menegakkan transparansi dan akuntabilitas. Penekanan Erick pada pentingnya kajian yang mendalam sebelum mengeluarkan kebijakan sebagai sikap proaktif dalam menyikapi masalah tersebut menjadi hal yang patut dicatat.

Sebagai kesimpulan, hubungan antara Komisi VI DPR dan Pertamina harus dioptimalkan untuk menciptakan langkah-langkah pencegahan yang lebih baik terhadap dugaan korupsi di masa depan. Diplomatasi dan komunikasi yang efektif antara kedua pihak menjadi kunci untuk menjawab ekspektasi masyarakat dan menjaga kinerja serta integritas Pertamina sebagai BUMN strategis. Para pemangku kepentingan pun diharapkan terus memantau perkembangan kasus ini sambil tetap mendorong upaya perbaikan dan reformasi yang berkelanjutan.

Exit mobile version