Ilmuwan China Temukan Bakteri Susu Kucing Gejala Autisme!

Para ilmuwan di China baru saja membuat penemuan yang mengejutkan di bidang kesehatan mental. Mereka menemukan bakteri baik yang biasa ditemukan dalam produk susu fermentasi, seperti yogurt dan keju, yang berpotensi dapat membantu mengurangi gejala autisme. Penemuan ini membuka jalan untuk pendekatan pengobatan alami yang dapat melengkapi terapi konvensional saat ini, yang sering kali bergantung pada obat-obatan.

Penelitian ini melibatkan tikus yang dimodifikasi secara genetik untuk menunjukkan perilaku yang mirip dengan gejala autisme, seperti kesulitan dalam bersosialisasi dan mengalami gangguan belajar serta ingatan. Selama satu bulan penuh, tikus-tikus tersebut diberikan bakteri Lactobacillus murinus setiap hari. Hasilnya cukup mengesankan; tikus yang diberikan bakteri tersebut menunjukkan perbaikan dalam perilaku sosial dan kemampuan belajar. Selain itu, kondisi kesehatan usus mereka juga mengalami peningkatan, yang menunjukkan bahwa bakteri ini dapat memengaruhi kesehatan secara keseluruhan.

Data dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) menyebutkan bahwa satu dari 36 anak di Amerika Serikat didiagnosis dengan gangguan spektrum autisme (ASD). Walaupun penyebab pasti dari autisme masih belum diketahui, penelitian menunjukkan bahwa faktor lingkungan, seperti polusi dan bahan kimia dalam makanan dan air, dapat memengaruhi perkembangan otak janin selama kehamilan.

Secara umum, terapi untuk anak-anak dengan autisme saat ini lebih mengandalkan terapi perilaku dan terapi bicara, sementara obat-obatan umumnya digunakan untuk mengatasi gejala tambahan seperti kecemasan. Namun, temuan tentang bakteri susu ini menunjukkan potensi untuk alternatif pengobatan yang lebih alami, yang diharapkan dapat menawarkan efek samping yang lebih minimal.

Dalam percobaan ini, peneliti menerapkan bakteri Lactobacillus murinus pada 34 ekor tikus yang mengalami modifikasi genetik, dengan tujuan untuk menguji efek bakteri ini terhadap kondisi perilaku sosial dan ingatan yang dialami oleh tikus. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa kondisi usus yang buruk berhubungan dengan gangguan fungsi otak, sehingga peneliti memutuskan untuk menguji apakah bakteri ini dapat membantu memperbaiki gejala yang muncul.

Setelah 30 hari perlakuan dengan bakteri ini, tikus-tikus yang terlibat menunjukkan perubahan signifikan dalam perilaku sosial dan penurunan dalam gejala yang mereka alami. Selain itu, keseimbangan aktivitas di otak tikus juga menunjukkan peningkatan, termasuk peningkatan kadar dopamin – sebuah neurotransmitter yang berperan dalam motivasi, pembelajaran, serta perhatian—setelah pengobatan dengan probiotik ini.

Hasil dari penelitian ini tidak hanya menjanjikan untuk pengembangan terapi autisme, tetapi juga mendukung temuan sebelumnya tentang hubungan antara kesehatan usus dan kesehatan otak. Meskipun penelitian ini baru dilakukan pada tikus, hasilnya memberikan harapan bahwa probiotik yang berasal dari makanan sehari-hari dapat menjadi bagian dari pendekatan baru dalam terapi autisme di masa depan, khususnya dengan penggunaan bakteri susu yang dapat membantu mengurangi gejala autisme yang dialami anak-anak.

Keberhasilan penelitian ini bisa membuka peluang lebih luas dalam eksplorasi penggunaan probiotik sebagai bagian dari terapi yang dapat membantu anak-anak dengan autisme, dengan penekanan pada pengobatan yang lebih alami dan terjangkau. Para peneliti tetap optimis bahwa pendekatan ini dapat memberikan manfaat signifikan bagi mereka yang membutuhkan pengobatan untuk kondisi ini di masa mendatang.

Exit mobile version