ICC Bisa Batalkan Penangkapan Netanyahu? Syarat dari Mantan Hakim!

Mantan Presiden Mahkamah Agung Israel, Aharon Barak, mengungkapkan kemungkinan bahwa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dapat membekukan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan Menteri Pertahanan, Yoav Gallant. Hal ini bisa terjadi jika Israel membentuk komisi penyelidikan negara untuk menyelidiki peristiwa yang terjadi pada 7 Oktober 2023, serta perang yang berlangsung setelahnya. Ini merupakan pernyataan penting di tengah konteks konflik yang sedang berlangsung dan isu-isu hukum internasional yang melibatkan Israel.

Barak, yang pernah menjabat sebagai hakim ad-hoc di Mahkamah Internasional dalam kasus genosida yang diajukan terhadap Netanyahu dan Gallant oleh Afrika Selatan, menegaskan bahwa dalam komunikasi dengan pejabat ICC, mereka menyatakan dengan jelas bahwa pembentukan komisi penyelidikan akan memicu pembatalan surat perintah penangkapan dan penundaan proses pengadilan terkait kedua tokoh tersebut. “Jika ada inisiatif formal dari pemerintahan Israel untuk menyelidiki aksi yang dipermasalahkan, maka ICC akan mencabut keputusan mereka,” tegas Barak.

Penting untuk dicatat bahwa ICC dalam surat perintah penangkapan yang dikeluarkan pada 21 November lalu menuduh Netanyahu, Gallant, dan seorang pemimpin Hamas, Ibrahim Al-Masri (dikenal juga sebagai Mohammed Deif), melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan juga menolak tantangan Israel mengenai yurisdiksi mereka dan keputusan untuk mengeluarkan surat perintah tersebut, dengan menyatakan bahwa tindakan dari Netanyahu dan Gallant berada dalam lingkup yurisdiksi ICC seiring dengan situasi yang meluas ke Gaza dan Tepi Barat.

Kantor Netanyahu telah mengecam keputusan ICC sebagai tindakan yang berbau antisemit. Di sisi lain, Israel mengajak negara-negara di dunia untuk menolak melaksanakan surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh pengadilan internasional tersebut. Beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, telah menolak untuk menerapkan keputusan ICC, sementara Argentina dan Hungaria menyatakan tidak akan menegakkan surat perintah untuk Netanyahu dan Gallant.

Situasi ini mencuat di tengah konflik yang terus berlanjut di Gaza, di mana serangan Israel telah menewaskan lebih dari 48.500 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, sejak bulan Oktober 2023. Dalam konteks ini, Filippo Grandi, Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), memperingatkan tentang kemungkinan genosida yang mengancam di kawasan tersebut. Dengan pemadaman listrik dan penghentian pasokan air bersih, organisasi hak asasi manusia telah mengeluarkan peringatan tentang potensi bencana kemanusiaan.

Dalam situasi yang semakin rumit ini, Barak mengkritik pemerintahan Netanyahu yang dianggapnya memperlemah sistem peradilan Israel dan berpotensi merusak status negara tersebut di kancah internasional. Ia mengatakan, tindakan seperti itu mengancam kepercayaan internasional terhadap proses hukum di Israel dan memperburuk hubungan diplomatik negeri itu dengan negara-negara lain.

Penting bagi masyarakat internasional untuk mengawasi perkembangan selanjutnya dalam kasus ini, terutama seiring dengan pengumuman dari ICC mengenai kemungkinan pembekuan surat perintah penangkapan. Hal ini akan menjadi salah satu faktor kunci dalam menentukan arah tindakan hukum dan diplomasi di wilayah yang dilanda konflik ini.

Dengan kata lain, jika Israel memenuhi syarat yang ditentukan oleh ICC dengan membentuk komisi penyelidikan, maka kemungkinan pembatalan atau penundaan terhadap surat perintah penangkapan Netanyahu dan Gallant bisa menjadi kenyataan. Namun, saat ini, situasi di lapangan tetap tegang dan kompleks, menjadikan setiap langkah ke depan sangat krusial bagi masa depan keadilan dan stabilitas di kawasan tersebut.

Exit mobile version