JAKARTA – Baru-baru ini, Federasi Diabetes Internasional (IDF) secara resmi mengakui keberadaan diabetes tipe 5, suatu bentuk baru dari penyakit diabetes. Kondisi ini, yang juga dikenal dengan istilah malnutrition-related diabetes atau severe insulin-deficient diabetes (SIDD), menjadi sorotan karena karakteristik uniknya yang berbeda dari diabetes tipe 1 dan 2.
Diabetes tipe 5 umumnya menyerang remaja dan dewasa muda yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) rendah serta mengalami kekurangan gizi kronis, khususnya di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Fenomena ini menjadikan diabetes tipe 5 sangat relevan dalam konteks nutrisi dan kesehatan masyarakat di negara berpenghasilan rendah.
Kondisi diabetes tipe 5 pertama kali diidentifikasi di Jamaika pada tahun 1955 dan sempat diakui oleh WHO pada tahun 1985 sebagai malnutrition-related diabetes mellitus. Sayangnya, pengakuan ini dihapus pada tahun 1999 akibat kurangnya bukti yang mendukung. Berita terbaru ini membawa harapan bagi pasien yang sering kali salah didiagnosis sebagai diabetes tipe 1 atau 2, mengingat gejalanya yang serupa.
Mengapa diabetes tipe 5 baru diakui kini? Di masa lalu, banyak pasien hanya menerima pengobatan insulin, tetapi tidak memperoleh hasil yang diharapkan. Bahkan, pemberian insulin dapat menyebabkan komplikasi serius seperti hipoglikemia parah. Penelitian terbaru yang dipimpin oleh Prof. Meredith Hawkins dari Albert Einstein College of Medicine menunjukkan bahwa diabetes tipe 5 memiliki karakteristik yang khas dan memerlukan pendekatan diagnosis dan pengobatan yang berbeda.
Kelompok yang paling rentan terhadap diabetes tipe 5 diperkirakan mencapai 25 juta orang di seluruh dunia, dengan prevalensi tertinggi di Asia dan Afrika. Di Indonesia, angka kekurangan gizi yang tinggi membuat kondisi ini semakin mengkhawatirkan, dan perhatian lebih diperlukan untuk menjangkau kelompok berisiko.
Gejala diabetes tipe 5 mirip dengan tipe lainnya, tetapi pasien biasanya tampak kurus, memiliki kadar gula darah tinggi tanpa menunjukkan resistensi insulin. Gejala lain termasuk kelelahan, penurunan berat badan, dan kesulitan dalam mengatur kadar gula darah. Sayangnya, banyak pasien yang tidak mendapatkan diagnosis yang tepat, yang dapat berakibat fatal dalam waktu kurang dari satu tahun setelah diagnosis.
IDF telah membentuk kelompok kerja untuk mengembangkan pedoman diagnosis dan pengobatan khusus diabetes tipe 5. Pendekatan pengobatan yang dianjurkan mencakup diet tinggi protein dan rendah karbohidrat, serta suplementasi mikronutrien. Namun, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menetapkan protokol pengobatan yang efektif bagi pasien.
Pengakuan resmi terhadap diabetes tipe 5 bukan hanya sekedar berita, tetapi juga menjadi panggilan bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan kesadaran, memfasilitasi diagnosis yang akurat, dan mengembangkan pengobatan yang tepat. Bagi Indonesia, ini merupakan langkah penting dalam memperkuat program gizi dan kesehatan anak serta remaja untuk mencegah dan menangani masalah ini sejak dini.
Dengan semakin banyaknya kasus diabetes yang didiagnosis secara keliru, peningkatan pemahaman mengenai diabetes tipe 5 akan menjadi krusial dalam upaya penanganan dan pencegahan penyakit ini. Masyarakat diharapkan dapat lebih mengenali gejala dan risiko yang ada, serta mendukung upaya peningkatan kesadaran mengenai pentingnya kesehatan gizi dalam mencegah diabetes tipe 5.