Jakarta, Octopus – Dalam sebuah pertemuan yang berlangsung di gedung DPR pada Selasa, 18 Maret 2025, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengungkapkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Pertahanan sepakat untuk memastikan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) tidak akan mengembalikan dwifungsi militer di Indonesia. Revisi ini diharapkan dapat memperkuat kontrol sipil atas militer dan menjamin bahwa fungsi TNI tetap terbatas pada pertahanan negara.
Usman menekankan pentingnya mencegah kembalinya dwifungsi militer dalam pertemuan tersebut. “Kita sepakat untuk mencegah kembalinya dwifungsi militer melalui revisi UU TNI serta menegakkan supremasi sipil,” ungkapnya. Hal ini menunjukkan komitmen kuat dari berbagai pihak untuk menjaga prinsip demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia.
Poin-poin krusial yang disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil mencakup fokus TNI pada pertahanan negara. TNI harus memperkuat profesionalisme dan modernisasi dengan tetap berada di bawah kendali sipil. Selain itu, terdapat penolakan terhadap keterlibatan personel TNI aktif dalam jabatan sipil di luar sektor pertahanan. Usman menegaskan bahwa jika prajurit TNI ingin menjabat posisi sipil, mereka harus mengundurkan diri atau pensiun.
Rincian lebih lanjut tentang revisi UU TNI juga menunjukkan adanya perubahan dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Beberapa hal yang disepakati antara lain mencakup penghapusan penempatan prajurit TNI aktif di Kementerian Kelautan dan Perikanan serta membatasi penempatan prajurit TNI di Kejaksaan Agung hanya untuk jaksa pidana militer (Jampidmil).
“KKP kini sepenuhnya dikelola oleh sipil dan penempatan di Kejaksaan Agung dibatasi untuk jabatan Jampidmil saja. Ini adalah perkembangan yang baik,” komentar Al Araf, pengamat militer dan Ketua Badan Pekerja Centra Initiative, mengenai perubahan tersebut.
Dalam hal penugasan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), DPR dan Koalisi Masyarakat Sipil juga mengharuskan adanya mekanisme pertanggungjawaban yang jelas agar supremasi sipil tetap terjaga. Penanganan isu siber, misalnya, akan difokuskan pada pertahanan siber dan penanganan narkotika dihapus dari DIM revisi UU TNI. Al Araf menjelaskan bahwa perdebatan masih berlangsung mengenai mekanisme pengambilan keputusan dalam OMSP, apakah akan dilakukan melalui kebijakan politik negara atau konsultasi dengan DPR.
Kepastian untuk tidak mengembalikan dwifungsi militer juga ditegaskan oleh Menko Polkam, yang menegaskan bahwa dalam revisi UU TNI tidak ada ruang bagi dwifungsi militer. Ini adalah langkah progresif dalam menjaga integrasi demokrasi dan peran sipil dalam pengawasan lembaga pertahanan.
Selain itu, pertemuan ini juga mencerminkan kolaborasi yang positif antara DPR dan masyarakat sipil dalam menyuarakan kepentingan publik. Dukungan dari berbagai elemen masyarakat semakin menguatkan posisi untuk menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan yang harus diterapkan di semua aspek kehidupan termasuk sektor pertahanan.
Secara keseluruhan, revisi UU TNI adalah upaya yang krusial untuk melindungi nilai-nilai demokrasi di Indonesia dengan memastikan bahwa kekuasaan militer tetap berada dalam kerangka sipil yang sejalan dengan semangat reformasi yang telah diperjuangkan. Inisiatif ini mencerminkan kesepakatan dan komitmen dari DPR serta masyarakat sipil untuk menjaga agar TNI fokus pada tugas pokoknya tanpa terganggu oleh intervensi politik.