Ditahan ICC, Rodrigo Duterte Siap Hadapi Sidang Kejahatan Kemanusiaan

Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, kini berada di pusat penahanan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda, menunggu persidangan terkait tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan. Penangkapannya mendapatkan perhatian luas di seluruh dunia, khususnya terkait kontroversi yang melingkupi kebijakan perang melawan narkoba yang diterapkannya selama masa kepemimpinan.

Pada Rabu malam, 12 Maret 2025, sebuah kendaraan yang diduga mengangkut Duterte memasuki kompleks penjara Scheveningen setelah pesawatnya mendarat di Rotterdam. Momen ini disambut dengan antusias oleh puluhan pendukungnya yang berkumpul di luar, melambaikan bendera Filipina dan meneriakkan tuntutan agar Duterte dibebaskan. Duds Quibin, salah satu pendukungnya, menggambarkan penangkapan tersebut sebagai “tindakan ilegal” dan “penculikan,” menekankan bahwa tidak ada proses hukum yang adil yang dilakukan terhadap mantan presiden.

Setelah penangkapannya, Duterte dibawa ke fasilitas yang dilengkapi dengan sel pribadi dan area untuk latihan luar ruangan, di mana ia akan menunggu sidang perdananya yang diperkirakan akan berlangsung dalam waktu dekat. Jaksa Kepala ICC, Karim Khan, menganggap penangkapan ini sebagai langkah penting bagi keadilan internasional, menyatakan bahwa banyak yang meragukan kekuatan hukum internasional, tetapi penangkapan Duterte menunjukkan bahwa supremasi hukum tetap dapat ditegakkan.

Berbagai tuduhan terhadap Duterte berakar dari kampanye antinarkoba yang dilancarkannya, di mana banyak laporan menyatakan bahwa kebijakan tersebut mengakibatkan kematian ribuan orang. ICC menemukan alasan yang cukup untuk mendakwa Duterte atas keterlibatannya dalam kebijakan yang telah dikritik sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Dalam sebuah unggahan di akun Facebook-nya, Duterte, yang kini berusia 79 tahun, mengakui tanggung jawabnya sebagai pemimpin, menegaskan identitasnya sebagai penegak hukum dan militer Filipina.

Pihak berwenang hak asasi manusia menyambut baik penangkapan ini. Gilbert Andres, pengacara yang mewakili korban dari kebijakan Duterte, mengungkapkan rasa syukurnya atas perkembangan ini, menyebutnya sebagai sinyal positif bagi keadilan internasional. “Tidak ada seorang pun yang kebal hukum,” ujarnya. Pada saat yang sama, beberapa pendukung Duterte mengekspresikan kemarahan mereka. Janet Suliman, salah seorang pengunjuk rasa, menyatakan bahwa penyerahan mantan presiden kepada pengadilan internasional merupakan sebuah penghinaan bagi negara.

Di Filipina, berita penangkapan Duterte disambut oleh banyak keluarga korban yang terdampak oleh kebijakan perang narkoba tersebut. Emily Soriano, yang anaknya menjadi korban kebijakan tersebut, berkomentar, “Duterte beruntung mendapatkan proses hukum yang adil, sementara anak saya tidak.” Pernyataan tersebut mencerminkan rasa harapan masyarakat akan keadilan setelah bertahun-tahun mengalami kesedihan akibat kebijakan yang keras.

Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Turk, menggambarkan penangkapan ini sebagai langkah signifikan untuk menuntut pertanggungjawaban atas ribuan korban pembunuhan yang terjadi selama kampanye antinarkoba Duterte. Namun, tidak semua pihak sepakat. China, melalui pernyataan resminya, mengkritik ICC dan meminta agar proses hukum internasional tidak dipolitisasi.

Selama periode kepresidenannya dari 2016 hingga 2022, Duterte melaksanakan kebijakan yang mengizinkan polisi untuk menembak tersangka narkoba tanpa proses pengadilan. Polisi Filipina melaporkan lebih dari 6.000 kematian yang terkait dengan kebijakan ini, sedangkan kelompok hak asasi manusia memperkirakan jumlah tersebut bisa mencapai 30.000 orang. Penahanan Duterte di ICC kini menjadi sorotan dunia dan memberikan harapan bagi para korban yang menantikan keadilan atas tindakan brutal yang terjadi selama rezimnya.

Back to top button