Berkaca dari Dirut Pertamina Patra Niaga: Kebohongan Orang Kaya?

Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, kini tengah berada di pusaran sorotan publik setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi. Kasus ini berawal dari praktik pembelian bahan bakar minyak (BBM) RON 92 yang dilaporkan sebagai RON 90. Selain itu, Riva dan jajaran petinggi perusahaan juga terlibat dalam blending BBM RON 90 dengan RON 92, tindakan yang dilarang dan diindikasikan telah menyebabkan kerugian hingga Rp193 triliun. Kejadian ini mengejutkan mengingat Riva, dengan gaji bulanan mencapai Rp1,8 miliar, sudah seharusnya hidup lebih dari cukup.

Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa orang-orang kaya, seperti Riva, masih tergoda untuk melakukan korupsi? Dalam dunia yang diwarnai oleh kekayaan, tindakan korupsi sering kali dianggap sebagai pelanggaran yang dilakukan oleh mereka yang berada dalam posisi kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri. Penjawabannya bisa ditemukan dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh Haywood Hunt and Associates, yang melibatkan riset dari profesor Harvard, Eugene Soltes.

Dalam bukunya, “Why They Did It: Inside the Mind of the White-Collar Criminal”, Soltes mengeksplorasi motivasi di balik tindakan kriminal yang dilakukan oleh individu-individu terpelajar dan berpengaruh. Ia mewawancarai 48 mantan penjahat kantoran yang telah dihukum. Dari wawancara tersebut, Soltes mengidentifikasi tiga alasan utama mengapa orang kaya masih tergiur untuk melakukan tindakan ilegal.

Pertama adalah sikap “Simpel Saja, Saya Melakukannya karena Saya Bisa”. Banyak dari pelaku korupsi adalah individu dengan latar belakang yang dihormati dan memiliki reputasi baik di masyarakat. Meskipun berada di posisi atas, keinginan untuk merasa lebih unggul dan menguasai orang lain mendorong mereka untuk melakukan tindakan melanggar hukum. Dalam pandangan Dennis Kozlowski, salah satu pelaku penipuan terkenal, mereka yakin tindakan mereka akan dipercaya dan sulit teridentifikasi.

Kedua, terdapat pola pikir “Tindakan Saya Tidak Seburuk Itu”. Beberapa pelaku percaya bahwa tindakan mereka tidak akan berefek fatal, asalkan mereka dapat mengembalikan uang yang diambil sebelum terungkap. Hal ini dialami oleh Bernie Madoff, yang merasa yakin akan dapat menutupi kerugiannya. Banyak pelaku korupsi yang beranggapan bahwa aktivitas mereka tidak lebih dari sekadar kesalahan administratif yang akan segera diperbaiki.

Ketiga, ada anggapan “Saya Perlu Melakukannya”. Sebagian koruptor merasa tindakan mereka adalah bagian dari tanggung jawab. Mereka menganggap diri mereka sebagai pahlawan yang melakukan tindakan berisiko untuk menyelamatkan perusahaan atau orang lain dari krisis. Ini menciptakan narasi bahwa tindakan mereka adalah demi kebaikan banyak orang, meskipun pada kenyataannya, tindakan tersebut berpotensi merugikan banyak pihak.

Kasus Riva Siahaan bisa jadi merupakan contoh dari pola pikir ini. Dengan posisi dan kekayaan yang dimiliki, ia mungkin merasa memiliki kendali atas situasi dan mampu mengatasi konsekuensi negatif dari tindakannya. Namun, kasus ini juga menunjukkan perlunya introspeksi dalam menghadapi masalah moral terkait integritas dan kombinasi antara kekuasaan dan etika. Apakah kekayaan yang melimpah seharusnya membebaskan seseorang dari tanggung jawab?

Selain itu, keputusan lembaga penegak hukum untuk mengusut kasus ini menjadi sinyal bahwa kesalahan fatal seperti yang dilakukan Riva Siahaan tidak akan dibiarkan terus menerus. Kondisi ini diharapkan menjadi pelajaran tidak hanya bagi para pelaku korupsi, tetapi juga bagi institusi yang mengawasi penerapan etika dalam dunia bisnis. Publik kini menanti langkah selanjutnya dari pihak berwenang untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan, demi mencegah praktik korupsi yang merugikan masyarakat luas.

Exit mobile version