Bankir Cermati Likuiditas 2025, Fokus Pertebal Simpanan Nasabah

Bankir di Indonesia semakin cermat dalam memperhatikan kondisi likuiditas menjelang tahun 2025, di tengah tantangan yang terus mengemuka. Sejumlah bank, termasuk PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., telah merumuskan strategi untuk mengoptimalkan kinerja likuiditas mereka, dengan fokus utama pada peningkatan simpanan dan efisiensi dalam penyaluran kredit.

Direktur Keuangan dan Strategi Bank Mandiri, Sigit Prastowo, mengungkapkan bahwa tantangan likuiditas yang ada saat ini diperkirakan akan berlanjut hingga 2025. “Kami akan berfokus pada bisnis transaksi dan penghimpunan dana murah, atau yang dikenal dengan istilah current account saving account (CASA),” ungkapnya dalam acara PTIJK OJK di Jakarta. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) di tahun mendatang, yang pada gilirannya akan mendukung penyaluran kredit yang lebih baik.

Sigit menjelaskan bahwa strategi Bank Mandiri di tahun 2024 akan berbeda dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2024, bank ini secara agresif berupaya meningkatkan pangsa pasar, sedangkan di tahun 2025, fokus akan lebih pada penguatan simpanan terlebih dahulu, sementara pertumbuhan kredit akan dipantau secara seksama. Target pertumbuhan kredit ditetapkan antara 10% hingga 12%, sementara DPK diharapkan dapat tumbuh antara 1% hingga 2%. “Kami berharap dapat menjaga loan to deposit ratio (LDR) di level 95%,” tambahnya.

Sementara itu, Presiden Direktur PT Super Bank Indonesia, Tigor M. Siahaan, mengemukakan bahwa secara industri, pertumbuhan kredit diproyeksikan akan melampaui pertumbuhan DPK. Hal ini menciptakan risiko likuiditas yang tetap harus diamati. Tigor menjelaskan bahwa tantangan likuiditas bukan hanya dipicu oleh kondisi perekonomian domestik, tetapi juga oleh ketidakpastian global dan dinamika instrumen investasi seperti Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

“Jika kita melihat SBN, likuiditas dari investor luar negeri saat ini sudah jauh berbeda dibandingkan dengan sebelumnya. Dulu, foreign investment di surat utang negara berada di kisaran 40%-41% secara puncak, kini mungkin berkisar antara 13%-14%,” tuturnya. Tigor menambahkan bahwa meskipun situasi likuiditas saat ini menantang, perubahan dapat terjadi jika aliran modal asing kembali mengalir masuk ke Indonesia.

Dalam paparannya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, menyatakan bahwa kondisi likuiditas perbankan pada akhir 2024 masih tergolong memadai. “Rasio alat likuid terhadap non-core deposit (AL/NCD) dan alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) masing-masing sebesar 112,87% dan 25,59%, yang masih berada di atas ambang batas masing-masing sebesar 50% dan 10%,” ujarnya dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Meski demikian, pertumbuhan DPK selama tahun lalu tercatat hanya mencapai 4,48% (YoY), dengan total mencapai Rp8.837 triliun, sementara pertumbuhan kredit tetap mampu mencatatkan angka double digit sebesar 10,39% (YoY) dengan total kredit mencapai Rp7.827 triliun.

Dalam menghadapi 2025, para bankir di Indonesia perlu secara aktif mengawasi dan menyesuaikan strategi menghadapi fluktuasi likuiditas. Kecermatan dalam meningkatkan simpanan dan pengelolaan kredit yang sehat menjadi kunci untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di tengah ketidakpastian yang ada. Diharapkan langkah-langkah strategis dan proaktif ini akan membantu perbankan untuk tetap solid dan siap menghadapi tantangan di tahun yang akan datang.

Exit mobile version