Arkeolog telah membuat temuan yang mengejutkan dengan menemukan kerangka seorang wanita yang dirantai, yang diyakini menjadi bagian dari ritual penyiksaan ekstrem dari masa lalu. Penemuan ini terjadi di Yerusalem dan berkaitan dengan praktik asketisme pada era Bizantium di abad kelima Masehi.
Kerangka tersebut ditemukan di dalam sebuah makam yang dipersembahkan di bawah altar gereja. Proses pencarian identitas kerangka tersebut sempat menimbulkan perdebatan di kalangan arkeolog. Namun, penelitian lebih lanjut mengungkapkan bahwa kerangka ini merupakan seorang biarawati yang diduga telah mengalami penyiksaan diri sebagai bentuk dari pengabdian spiritual. Penemuan ini mengejutkan banyak ilmuwan karena menjadi bukti bahwa upaya untuk mencapai kesempurnaan spiritual pada masa itu melibatkan cara-cara yang sangat ekstrem dan berdampak pada fisik.
Dalam penelitian yang diterbitkan di Journal of Archaeological Science: Reports, para ilmuwan menghadapi kesulitan untuk menentukan jenis kelamin kerangka tersebut. Untuk mengatasi masalah ini, mereka menggunakan analisis protein dalam enamel gigi, yang menghasilkan konfirmasi bahwa kerangka tersebut adalah seorang perempuan. Data ini menunjukkan bahwa perempuan di Era Bizantium juga terlibat dalam praktik asketisme yang keras.
Asketisme sendiri adalah praktik disiplin diri yang ketat yang dilakukan dalam banyak tradisi agama, termasuk agama-agama Abrahamis. Ajaran ini menganggap bahwa keduniawian dan gaya hidup materialistik dapat menghalangi seseorang untuk mencapai keselamatan spiritual. Dalam konteks ini, banyak individu, termasuk biarawati, mengetahui dan mempraktikkan berbagai bentuk penyiksaan diri guna mencapai martabat spiritual. Dalam praktik asketisme, ada dua bentuk yang dapat dibedakan: natural dan non-natural. Asketisme natural berfokus pada pengendalian gaya hidup hingga aspek kebendaan tanpa menyengsarakan tubuh, sedangkan asketisme non-natural melibatkan tindakan menyakiti diri sendiri.
Sejarah mencatat bahwa di masa itu, wanita kaya yang hidup dalam kemewahan seringkali merasa perlu untuk mengimbangi gaya hidup mereka dengan tindakan asketis. Hal ini termasuk puasa berkepanjangan, mengikat tubuh mereka dengan batu, hingga mengurung diri di tempat-tempat terpencil. Penemuan kerangka wanita ini dapat dilihat sebagai representasi berbagai tekanan dan harapan sosial yang dihadapi oleh perempuan di era tersebut.
Dilihat dari kondisi kerangka, wanita tersebut diikat dengan menggunakan sebanyak 12 hingga 14 cincin di lengan dan telapak tangan. Selain itu, terdapat empat ikatan di lehernya dan sepuluh cincin yang terdapat di kaki. Sebuah pelat ditemukan di daerah perut kerangka dan dipasang bersama cincin-cincin tersebut, menciptakan gambaran seolah-olah kerangka ini dikelilingi oleh bahan logam. Kondisi ini tidak hanya mencolok tetapi juga memberikan gambaran jelas tentang seberapa ekstrem praktik penyiksaan diri di kalangan penganut ajaran asketisme.
Penemuan ini menyoroti pentingnya pemahaman sejarah tentang praktik keagamaan dan perilaku sosial di masa lampau. Dengan terungkapnya ritual penyiksaan diri yang dilakukan oleh biarawati, peneliti dapat menarik pelajaran berharga mengenai hubungan antara spiritualitas dan praktik-praktik ekstrem yang digerakkan oleh keyakinan religius. Terlebih lagi, hasil penelitian ini membawa kita pada pemahaman lebih dalam mengenai kehidupan perempuan di bawah kekuasaan sosial pada era Bizantium, menjadikan mereka tidak hanya sebagai pelaku keagamaan, tetapi juga korban dari berbagai norma yang menekan.