Dalam upaya menurunkan prevalensi merokok di Indonesia, berbagai pendekatan baru mulai diperkenalkan, termasuk strategi pengurangan risiko tembakau (tobacco harm reduction). Namun, mantan Direktur Penelitian, Kebijakan, dan Kerja Sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Prof. Tikki Pangestu, menjelaskan ada beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam penerapan strategi ini.
Prof. Tikki mengungkapkan bahwa meskipun terdapat banyak bukti tentang keuntungan produk alternatif tembakau, seperti rokok elektronik dan produk tembakau yang dipanaskan, adopsinya masih menghadapi banyak tantangan. Hal ini berdampak signifikan terhadap penurunan angka perokok di Indonesia dan di berbagai negara lainnya.
Dengan pendekatan pengurangan risiko, produk-produk ini ditawarkan sebagai alternatif bagi perokok yang ingin berhenti merokok tanpa risiko kesehatan yang tinggi. Namun, tiga faktor penghambat utama diidentifikasi oleh Prof. Tikki sebagai penyebab kurangnya penerimaan terhadap produk ini.
Pertama, lobi kuat dari kelompok pengendalian tembakau yang memiliki sumber daya dan pendanaan yang besar menjadi halangan utama. Kelompok ini beroposisi terhadap pendekatan pengurangan risiko dan lebih memilih kebijakan yang berfokus pada larangan serta pembatasan. Prof. Tikki menyatakan bahwa kebijakan semacam ini tidak memperhitungkan kebutuhan perlindungan bagi para perokok yang berusaha beralih ke produk yang lebih rendah risiko.
Kedua, posisi WHO juga berperan penting dalam penghambatan ini. Negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah cenderung mengikuti petunjuk WHO yang skeptis terhadap pengurangan risiko tembakau. Ketidakadilan ini mengakibatkan banyak negara tidak dapat mengevaluasi manfaat dari implementasi pendekatan tersebut. Pihak yang mendukung pengurangan dampak buruk tembakau merasa bahwa kebijakan saat ini tidak sejalan dengan tujuan kesehatan masyarakat yang lebih pragmatis.
Ketiga, maraknya misinformasi mengenai produk tembakau alternatif menjadi hambatan besar. Penilaian yang keliru bahwa produk alternatif ini memiliki risiko kesehatan setara dengan rokok konvensional membuat pemerintah dan organisasi kesehatan enggan terbuka terhadap pengembangan produk-produk ini.
Misinformasi mengenai produk tembakau alternatif cukup luas, dan salah satu anggapan yang sering terdengar adalah bahwa semua produk tembakau berbahaya tanpa kecuali. Ini menjadi tantangan tambahan karena kesalahpahaman ini menghalangi diskusi yang lebih konstruktif tentang potensi produk-produk rendah risiko.
Prof. Tikki menyampaikan keprihatinan bahwa ada ketidakcocokan antara tujuan kelompok pengendalian tembakau yang berambisi menciptakan masyarakat bebas nikotin dan pendekatan pragmatis yang dibawa oleh para ahli pengurangan risiko tembakau. Dia berpendapat bahwa tujuan ideologis tersebut sulit dicapai dalam realitas saat ini.
Dengan penekanan pada perlunya pemahaman yang lebih baik mengenai produk-produk alternatif dan pengurangan risiko, diskusi mengenai strategi ini seharusnya menjadi lebih terbuka. Mengatasi lobi pengendalian tembakau, memahami peran WHO, dan melawan misinformasi akan sangat penting untuk mengurangi prevalensi merokok di Indonesia. Ke depan, solusi yang mengintegrasikan pendekatan kesehatan masyarakat yang lebih pragmatis dan realistis dapat menjadi kunci untuk mengatasi epidemi merokok yang sedang berlangsung.