
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, mengungkapkan kesediaan untuk melepaskan jabatannya demi mencapai perdamaian bagi negaranya. Pernyataan tersebut disampaikannya dalam sebuah konferensi pers di Kyiv pada akhir pekan lalu, menegaskan komitmennya terhadap keamanan dan kestabilan Ukraina di tengah ketegangan yang berkepanjangan akibat konflik dengan Rusia.
Zelensky menegaskan, “Jika (itu berarti) perdamaian untuk Ukraina, jika Anda benar-benar membutuhkan saya untuk meninggalkan jabatan saya, saya siap.” Pernyataan ini mencerminkan ketidakpastian dan kompleksitas situasi yang dihadapi Ukraina, terlebih dengan berbagai tekanan dari dalam dan luar negeri.
Lebih lanjut, Zelensky menyampaikan bahwa dia akan bersedia mengundurkan diri jika itu bisa membuka jalan bagi Ukraina untuk bergabung dengan aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). “Saya dapat menukarnya dengan (keanggotaan) NATO, jika persyaratan itu ada, segera,” tambahnya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa alternatif jalan diplomasi dan keamanan selalu siap untuk dipertimbangkan, asalkan berdampak positif bagi negara.
Dalam kesempatan itu, Zelensky juga menggarisbawahi bahwa meskipun ia tidak berniat untuk memegang kekuasaan selama beberapa dekade ke depan, ia menolak gagasan untuk membiarkan Presiden Rusia, Vladimir Putin, memegang kendali atas wilayah Ukraina. “Kami juga tidak akan membiarkan Putin berkuasa atas wilayah Ukraina,” tegasnya. Hal ini mencerminkan sikap tegas Ukraina dalam mempertahankan kedaulatan dan integritas teritorialnya, meskipun ada dorongan untuk dialog perdamaian.
Pernyataan Zelensky datang di tengah meningkatnya ketegangan antara Kyiv dan Washington, yang dipicu oleh komentar kontroversial dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menyebut Zelensky sebagai “diktator” melalui media sosial. Respon Zelensky terhadap komentar tersebut menggambarkan ketidakpuasan atas pemanfaatan narasi yang dianggap menguntungkan Rusia. Ia menyatakan bahwa Trump terjebak dalam “ruang disinformasi” Rusia, mencerminkan ketidakcocokan perspektif antara kedua pemimpin.
Di samping isu politik, Zelensky juga menyoroti pentingnya dukungan militer dan ekonomi dari Amerika Serikat. Ia mencatat bahwa pembicaraan mengenai mineral berharga yang terdapat di Ukraina terus berlangsung. Namun, ia menegaskan bahwa kesepakatan tidak akan efektif jika AS meminta Ukraina untuk mengembalikan nilai bantuan yang telah diberikan. “Hibah tidak boleh diperlakukan sebagai pinjaman,” jelasnya. Sementara itu, ia mengungkapkan keprihatinan mengenai keterlambatan pengiriman bantuan militer AS yang dijanjikan, yang seharusnya mencapai sekitar USD 15 miliar.
Zelensky berharap Trump dapat berperan sebagai mitra strategis bagi Ukraina, lebih dari sekadar mediator. Ia mengharapkan dukungan yang lebih konkret dalam upaya untuk mencapai perdamaian. “Saya benar-benar menginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar mediasi… itu tidak cukup,” pungkasnya.
Ia juga mengisyaratkan bahwa kehadiran pasukan AS di Ukraina dapat dipertimbangkan, terutama jika kesepakatan mineral antara kedua negara berfungsi sebagai jaminan keamanan. Keyakinan ini muncul dari anggapan bahwa gencatan senjata dengan Rusia sering disalahartikan sebagai akhir dari konflik, padahal kenyataannya, ancaman serangan masih mengintai.
Zelensky menutup pernyataan ini dengan menekankan pentingnya resolusi jangka panjang terhadap konflik untuk menciptakan rasa aman bagi Ukraina. Dalam situasi yang terus berkembang, semangat Zelensky untuk mempertahankan kedaulatan negaranya sambil mencari jalan menuju perdamaian menjadi sorotan utama dalam diskusi global tentang masa depan Ukraina dan hubungannya dengan kekuatan besar seperti Rusia dan Amerika Serikat.