
Seorang pria berusia 23 tahun asal Indonesia, Brilliant Angjaya, dijatuhi hukuman penjara selama tiga minggu oleh Pengadilan Singapura pada Senin, 24 Februari 2025. Hukuman ini dijatuhkan setelah Angjaya terbukti bersalah melakukan pelecehan seksual dengan memperlihatkan alat kelaminnya kepada seorang pramugari selama penerbangan dari China menuju Singapura pada 23 Januari lalu.
Dalam persidangan, terungkap bahwa Brilliant Angjaya melakukan tindakan tersebut saat ia berada dalam keadaan mabuk setelah mengonsumsi dua gelas sampanye. Ketika terbangun dari tidurnya, ia pergi ke toilet dan kemudian kembali ke tempat duduknya dengan niat merekam dirinya sendiri beserta reaksi penumpang lainnya. Pada sekitar pukul 04.45 pagi, Angjaya membuka ritsleting celananya dan membiarkan alat kelaminnya terbuka sambil menutupi bagian bawahnya dengan selimut.
Keberadaan Angjaya di kelas bisnis pesawat itu tidak mencegah terjadinya insiden memalukan tersebut. Seorang pramugari yang saat itu sedang mengantarkan makanan terkejut melihat tindakan tidak senonoh Angjaya dan segera meninggalkan kartu makanan tersebut untuk melaporkan kejadian kepada atasannya.
Saat diperiksa, meskipun Angjaya membantah telah merekam insiden tersebut, bukti rekaman ditemukan di ponselnya, yang mengarah pada penangkapannya oleh pihak kepolisian setibanya di Bandara Changi. Cukup menarik, kasus ini memicu perdebatan mengenai jenis hukuman yang seharusnya dijatuhkan. Wakil Jaksa Penuntut Umum, Ng Jun Kai, menuntut hukuman penjara antara empat hingga enam minggu dengan mempertimbangkan lokasi kejadian serta posisi korban sebagai pekerja angkutan umum.
Namun, pengacara Angjaya, Navin Shamugaraj Thevar, mempertahankan bahwa tindakan kliennya hanya berlangsung singkat dan berada dalam risiko rendah bagi penumpang lain. Pengacara juga menyatakan bahwa niat Angjaya bukan untuk mencari kepuasan seksual. Menyikapi hal ini, Hakim Distrik Paul Quan dalam putusannya, meskipun mengakui bahwa pelanggaran tersebut bersifat sementara, tetap menganggap tindakan tersebut sebagai pelanggaran yang signifikan.
Di dalam putusan, Hakim Quan mencatat bahwa perbuatan Angjaya memiliki dampak menengah, tidak hanya bagi pramugari yang menjadi korban, tetapi juga bagi keseluruhan suasana dalam pesawat. Selain itu, hakim juga mempertimbangkan penyesalan yang ditunjukkan Angjaya, kerjasamanya selama penyelidikan, serta surat permintaan maaf yang ditulisnya kepada pramugari tersebut.
Dalam surat yang dibacakan di pengadilan, Angjaya menyampaikan bahwa saat kejadian, ia berada dalam kondisi mental yang tidak stabil akibat tekanan setelah meninggalkan teman-temannya di Tiongkok usai menyelesaikan studinya. Meskipun hukum Singapura memberikan ancaman hukuman hingga satu tahun penjara atau denda, pada kasus ini Angjaya hanya dijatuhi hukuman penjara selama tiga minggu.
Kasus ini kembali menyoroti pentingnya kesadaran dan kepatuhan terhadap norma sosial dalam berbagai konteks, termasuk di ruang publik seperti pesawat terbang. Tindakanpegawai seperti Angjaya, yang dapat dianggap sebagai pelecehan seksual, menunjukkan bahwa pelanggaran semacam ini harus ditangani dengan serius demi menjaga keselamatan dan kenyamanan semua penumpang serta awak pesawat.