Waka DPR: Rapat Konsinyering RUU TNI di Hotel Mewah Sesuai Aturan

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menegaskan bahwa rapat konsinyering yang diadakan oleh Panitia Kerja Komisi I DPR RI dan Pemerintah untuk membahas Revisi Undang-Undang TNI di Hotel Fairmont, Jakarta, tidak memiliki kesan melakukan kegiatan secara diam-diam. Pasalnya, rapat tersebut telah dilakukan secara terbuka dan sesuai dengan mekanisme yang telah diatur.

“Dari awal, kami sampaikan bahwa tidak ada kesan rapat ini berlangsung diam-diam. Semua agenda rapat dapat dilihat dan diakses oleh publik. Rapat di hotel ini diadakan dengan transparansi,” ungkap Dasco dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (17/3/2025).

Dasco menjelaskan bahwa dalam setiap proses pembentukan Undang-Undang, termasuk RUU TNI, terdapat aturan yang jelas terkait mekanisme konsinyering. Hasil dari diskusi sebelumnya akan memberikan kontribusi pada pembahasan yang lebih mendalam. “Konsinyering ini adalah langkah penting dalam menghasilkan naskah akademik yang lebih baik dan merumuskan istilah atau point yang tepat,” katanya.

Rapat yang semula direncanakan berlangsung selama empat hari ini terpaksa disingkat menjadi dua hari. Hal ini dilakukan untuk efisiensi waktu serta dalam rangka mengundang institusi lain yang berkepentingan. “Kami ingin membuat proses ini lebih efektif tanpa mengabaikan substansi yang perlu dibahas,” tambahnya.

Polemik mengenai RUU TNI mencuat antara lain karena adanya anggapan dari masyarakat bahwa DPR bersama Pemerintah berupaya mempercepat pembahasan yang dinilai sensitif ini. Menanggapi hal tersebut, Dasco dengan tegas menyatakan bahwa sejak beberapa bulan terakhir, pembahasan mengenai revisi UU TNI telah dilakukan. “Ini bukan masalah kebut-kebutan. Pembahasan ini sudah dimulai lama dan kami sudah melibatkan partisipasi publik dalam prosesnya,” jelasnya.

Kekhawatiran di kalangan masyarakat semakin meningkat ketika para aktivis dari koalisi masyarakat sipil menggeruduk rapat tersebut. Mereka mengkhawatirkan bahwa rapat ini terkesan tertutup dan berpotensi menyembunyikan informasi penting dari publik. Dalam insiden tersebut, aktivis-aktivis tersebut berusaha masuk ke ruang rapat dan ditemui oleh petugas keamanan.

Salah satu ketentuan yang menjadi sorotan dalam RUU TNI adalah adanya penambahan pos baru dalam kementerian atau lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif. Saat ini, terdapat 10 kementerian, termasuk Sekretaris Militer Presiden dan Badan Intelijen Negara, yang memungkinkan untuk diisi oleh prajurit aktif. Dalam revisi yang diusulkan, terdapat tambahan enam pos baru, seperti di kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kejaksaan Agung.

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, memperingatkan bahwa adanya ketentuan dalam RUU TNI berpotensi mengembalikan dwifungsi militer yang pernah ada. Dalam diskusi mengenai RUU tersebut, ia menegaskan pentingnya membaca undang-undang ini lebih dari sekadar teks yang tertulis. Menurutnya, meski tidak tertera secara eksplisit, ada peluang bagi anggota TNI untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi, yang berpotensi membangkitkan kembali bisnis militer.

Bivitri juga mengingatkan bahwa kebangkitan bisnis militer ini memiliki latar belakang sejarah yang penuh masalah. Ketika masa Orde Baru, bisnis militer muncul dan menimbulkan banyak konflik kepentingan hingga akhirnya dibentuk satuan tugas untuk menyelesaikan persoalan tersebut. “Kita harus berhati-hati agar sejarah tidak terulang kembali,” ujarnya.

Dalam konteks ini, semua pihak diharapkan dapat terus mengawasi dan terlibat dalam proses pembahasan RUU TNI untuk memastikan bahwa kepentingan publik tidak terabaikan. Pembahasan ini harus dilakukan dengan keterlibatan masyarakat luas guna memastikan transparansi dan akuntabilitas.

Back to top button