Visa Dicabut! AS Ancam Deportasi Warga Asing Dukung Hamas

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, baru-baru ini mengumumkan langkah tegas terhadap warga asing yang menunjukkan dukungan terhadap Hamas, kelompok Palestina yang dianggap sebagai kelompok teroris oleh pemerintah AS. Dalam pernyataannya yang disampaikan melalui media sosial X, Rubio menyebutkan bahwa pengunjung asing yang kedapatan mendukung teroris akan mengalami pencabutan visa dan dapat dideportasi.

“Amerika Serikat tidak mentolerir pengunjung asing yang mendukung teroris. Pelanggar hukum AS, termasuk mahasiswa internasional, akan mengalami penolakan atau pencabutan visa serta deportasi,” ungkap Rubio. Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap serangan yang dilakukan oleh Hamas di Israel pada 7 Oktober 2023, yang menimbulkan kecemasan baru tentang keamanan nasional AS.

Namun, hingga saat ini, tidak jelas bagaimana Departemen Luar Negeri AS akan mendeteksi individu yang dianggap sebagai pendukung Hamas. Menurut laporan dari Axios, inisiatif yang dinamakan “Tangkap dan Cabut” akan memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk memeriksa akun media sosial dari puluhan ribu pemegang visa pelajar asing. AI tersebut akan menilai apakah individu-individu ini telah menunjukkan dukungan untuk Hamas pasca serangan bulan lalu.

Langkah ini diambil sebagai bagian dari langkah lebih besar yang dimulai oleh mantan Presiden Donald Trump, yang telah menandatangani perintah eksekutif pada Februari 2023, bertujuan memerangi antisemitisme. Perintah tersebut memberikan dasar hukum bagi deportasi mahasiswa yang terlibat dalam demonstrasi pro-Palestina. Ini menunjukkan bahwa posisi pemerintah AS dalam isu ini semakin keras dan mengarah pada pengawasan yang lebih ketat terhadap tindakan dan pernyataan publik warganya yang berasal dari negara lain.

Kritikus dari kebijakan ini berpendapat bahwa tindakan ini ditujukan untuk membatasi aksi protes pro-Palestina di kampus-kampus dan ruang publik di seluruh negeri. Mereka khawatir langkah ini dapat berpotensi mengekang kebebasan berekspresi dan menciptakan suasana intimidasi bagi mahasiswa atau warga asing yang ingin menyuarakan pendapat mereka mengenai kebijakan luar negeri AS dan isu-isu terkait Palestine-Israel.

Kekhawatiran ini tidak tanpa alasan. Penegakan hukum yang ketat terhadap dukungan pada gerakan pro-Palestina dapat menciptakan efek “pendinginan”, di mana mereka yang mungkin memiliki pandangan berlawanan terhadap kebijakan AS merasa tertekan untuk berbicara atau berpartisipasi dalam diskusi, baik di kampus maupun di media sosial. Ini bisa menjadi bagian dari strategi yang lebih luas untuk membentuk pandangan publik mengenai Israel dan Palestina, terutama di kalangan generasi muda yang lebih aktif dalam isu-isu sosial dan politik.

Warga asing, khususnya mahasiswa yang belajar di AS, kini dihadapkan pada dilema besar. Mereka harus berhati-hati dengan pernyataan dan aktivitas mereka, mengingat risiko pencabutan visa dan deportasi akibat dugaan dukungan terhadap kelompok yang dianggap teroris oleh pemerintah. Ketidakpastian mengenai kriteria yang digunakan untuk menentukan siapa yang dianggap mendukung Hamas juga menambah ketegangan di kalangan komunitas internasional di AS.

Melihat ke depan, tantangan bagi pemerintah AS adalah menciptakan kebijakan yang mampu menjaga keamanan nasional tanpa mengorbankan nilai-nilai kebebasan berpendapat yang menjadi salah satu pilar demokrasi. Sementara situasi ini terus berkembang, penting untuk memantau implikasi jangka panjangnya terhadap masyarakat internasional, terutama di lingkungan akademis yang seharusnya menjadi tempat bagi pertukaran ide dan diskusi yang konstruktif.

Back to top button