Utusan Pemerintahan Amerika Serikat, Adam Boehler, baru-baru ini mengungkapkan rincian mengenai perundingan yang dilakukan dengan kelompok Hamas, di tengah kritik yang datang dari pemerintah Israel. Boehler, yang menjabat sebagai utusan untuk urusan sandera, menegaskan bahwa langkah tersebut diambil demi membebaskan sandera-sandera yang ditahan, baik warga negara Amerika Serikat maupun Israel.
Dalam sebuah wawancara dengan saluran berita Channel 12 Israel, Boehler menjelaskan bahwa negosiasi dengan Hamas telah dilakukan di tengah upaya mediasi yang juga dilakukan oleh Qatar dan Mesir. Menurutnya, fokus utama dari perundingan ini adalah untuk memastikan keselamatan dan kebebasan semua sandera yang saat ini berada di Gaza. “Anda memiliki peluang nyata untuk beberapa gerakan dan melihat para sandera pulang dalam beberapa minggu ke depan,” ungkap Boehler optimis.
Pernyataan tersebut berdampak signifikan, mengingat Israel sudah lama menganggap Hamas sebagai organisasi teroris, dan negara tersebut selama ini menghindari dialog atau negosiasi dengan kelompok tersebut. Boehler menolak anggapan bahwa Amerika Serikat bertindak sebagai perpanjangan tangan untuk kepentingan Israel. Ia menekankan bahwa tindakan pemerintahannya adalah demi kepentingan Amerika. “Kami adalah Amerika Serikat. Kami bukan agen Israel,” tegasnya.
Dalam negosiasi yang dilakukan, Boehler menyebutkan bahwa Hamas telah mengusulkan gencatan senjata yang dapat berlangsung selama lima hingga sepuluh tahun. Selama periode ini, mereka bersedia untuk melucuti senjata dan menarik diri dari posisi kepemimpinan politik di Gaza. “Mereka mengusulkan pertukaran semua tahanan dan gencatan senjata selama lima hingga 10 tahun,” ujar Boehler merujuk pada syarat yang diajukan oleh Hamas. Meskipun demikian, Boehler mencatat bahwa Hamas belum secara resmi memberikan komitmen terhadap persyaratan tersebut.
Komitmen Amerika Serikat dalam menciptakan jalan bagi pembebasan sandera ini juga menimbulkan kritik dari pejabat Israel. Menteri Urusan Strategis Israel, Ron Dermer, menyatakan ketidakpuasan atas negosiasi yang dilakukan oleh Boehler. Menanggapi kecemasan di pihak Israel, Boehler berusaha menenangkan publik dengan mengatakan, “Komitmen kami penuh. Kami bermaksud mengeluarkan warga Amerika dan Israel.”
Taktik negosiasi ini menuai reaksi beragam, menciptakan ketegangan antara Washington dan Tel Aviv. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, merencanakan pengiriman negosiator ke Qatar dalam pekan ini untuk membahas masa depan gencatan senjata di Gaza dan kemungkinan kesepakatan yang terkait dengan sandera. Langkah ini menunjukkan bahwa Israel tetap mencari cara untuk memastikan keamanan warganya meskipun dalam situasi yang kompleks.
Dalam konteks lebih luas, perundingan ini mencerminkan perubahan kebijakan yang mungkin akan diambil oleh Amerika Serikat di bawah pemerintahan Trump. Di masa lalu, kebijakan luar negeri AS umumnya menghindari interaksi langsung dengan kelompok yang dianggap teroris. Namun, situasi yang terus berubah di Timur Tengah memaksa negara-negara untuk mempertimbangkan pendekatan baru dalam merespons konflik yang berkepanjangan.
Keberhasilan dalam negosiasi ini bisa menjadi titik balik bagi hubungan antara AS, Israel, dan Hamas, serta memberikan sinyal positif untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan. Meskipun tantangan masih banyak, upaya dari pihak-pihak yang terlibat menunjukkan adanya harapan yang dapat segera terwujud dalam bentuk pembebasan para sandera. Ketegangan yang terjadi juga menegaskan betapa kompleksnya dinamika yang dihadapi dalam pencarian solusi untuk konflik yang telah berlangsung selama bertahun-tahun di kawasan tersebut.