
Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi menyatakan tidak mengetahui siapa yang mengusulkan Kota Solo untuk menjadi Daerah Istimewa. Menurutnya, kewenangan untuk menetapkan daerah istimewa sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat. Hal ini diungkapkan Luthfi di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, pada Rabu (30/4/2025).
“Jadi, bukan isu ya. Kalau isu enggak terserah. Tapi yang prinsip bahwa kewenangan terkait dengan daerah istimewa itu kewenangan pusat. Provinsi tidak punya kewenangan,” ungkap Luthfi. Ia menegaskan bahwa dirinya belum mendengar secara langsung mengenai usulan tersebut dan tidak mengetahui pihak mana yang mengajukan.
Meskipun begitu, Luthfi mengakui bahwa Jawa Tengah dikenal dengan adanya aglomerasi yang berfungsi untuk menumbuhkan ekonomi. Menciptakan aglomerasi seperti Solo Raya, Semarang Raya, dan Pekalongan Raya menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima menyatakan bahwa ada usulan untuk menjadikan Solo sebagai daerah istimewa. Namun, menurutnya, informasi ini baru sebatas usulan yang dia dengar. Ini disampaikan setelah Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Akmal Malik, menyebutkan adanya enam wilayah yang diusulkan untuk menjadi daerah istimewa pada rapat bersama Komisi II DPR.
“Berdasarkan informasi hingga April 2025, kita mendapat 42 usulan pembentukan provinsi, 252 kabupaten, 36 kota, termasuk enam wilayah yang meminta status daerah istimewa,” kata Akmal dalam rapat tersebut. Ia menambahkan bahwa Kemendagri tidak bisa sembarangan memutuskan pemekaran wilayah atau pemberian otonomi khusus tanpa melalui verifikasi dan kajian akademik yang mendalam terlebih dahulu.
Aria Bima menyatakan setuju apabila Solo dijadikan daerah istimewa, namun menekankan perlunya melihat kepentingan dan potensi yang ada di daerah tersebut. “Kami setuju saja dengan yang namanya daerah keistimewaan. Tapi keistimewaan ini juga harus berkaitan dengan kepentingan tidak hanya di daerah, tetapi juga kepentingan global dan pusat,” jelas Aria.
Kajiannya harus melibatkan berbagai aspek, termasuk keadilan bagi daerah lain. “Jangan sampai pemberian daerah keistimewaan ini menciptakan rasa ketidakadilan di daerah lain,” tegasnya.
Mengacu pada alasan historis, Aria menjelaskan bahwa Solo memiliki kekhususan dalam perlawanan terhadap penjajahan dan kebudayaan yang kaya. Namun, ia juga mempertanyakan relevansi usulan ini di tengah perkembangan yang sudah dicapai oleh Solo sebagai kota dagang, pendidikan, dan industri.
“Ya, mulai ada keinginan, tapi saya melihat apakah relevansi untuk saat ini? Solo ini sudah menjadi kota dagang, sudah menjadi kota pendidikan, kota industri. Tidak ada lagi yang perlu diistimewakan,” ungkap Aria, menambahkan bahwa perhatian terhadap usulan daerah istimewa ini tidak terlalu diutamakan oleh Komisi II.
Dengan berbagai pendapat yang mengemuka, jelas bahwa perjalanan untuk menjadikan Solo sebagai daerah istimewa masih memerlukan kajian mendalam serta pertimbangan bagi kepentingan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Keputusan akhir mengenai status daerah istimewa ini akan sangat bergantung pada hasil verifikasi dan kajian oleh pemerintah pusat, serta dukungan dari para pemangku kepentingan di daerah.