
Saat sepasang suami istri asal Dallas, Oregon, Amerika Serikat, Barbara dan Rick Wilson, berlibur di Paris, mereka mengalami pengalaman yang mencolok. Situasi ini menyoroti bagaimana kebijakan luar negeri dan keputusan seorang presiden dapat memengaruhi persepsi terhadap individu di luar negeri. Dengan kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump, banyak orang Amerika merasa harus menyembunyikan identitas mereka selama berada di negara lain.
Rick Wilson, 74 tahun, mengungkapkan rasa frustrasinya. Sebelum meninggalkan hotel, ia mengambil selotip hitam dan menutup bendera Amerika Serikat yang ada di topi bisbolnya. “Kami muak dengan hal ini. Mengerikan. Benar-benar mengerikan,” katanya, menggambarkan rasa malu dan canggung yang mereka rasakan sebagai warga Amerika di negara asing. Istrinya, Barbara yang berusia 70 tahun, juga menghadapi rasa tidak nyaman serupa. Ia bahkan membawa pin kerah Kanada, hadiah dari turis lain, dengan harapan bisa menghindari penghakiman berdasarkan kebangsaannya.
“Kami kecewa dengan negara kami. Kami kesal dengan tarif,” jelas Barbara, saat merenungkan dampak dari kebijakan yang merugikan hubungan Amerika dengan banyak negara, termasuk Prancis. Meskipun dalam laporan BBC disebutkan bahwa tidak ada indikasi warga Amerika kurang diterima di Paris, perasaan GUIterre, seperti yang disampaikan oleh Chris Epps, seorang pengacara dari New York, menegaskan hal tersebut. Ia memilih untuk tidak mengenakan topi New York Yankees yang terkenal saat pergi ke luar Museum Louvre, khawatir akan perlakuan yang mungkin diterima dari orang-orang di sekitarnya.
Selain rasa malu yang dirasakan oleh beberapa turis, kebijakan tarif dari Trump juga berdampak pada sektor industri dan pariwisata. Philippe Gloaguen, pendiri buku panduan perjalanan La Guide du Routard, mengungkapkan bahwa pesanan buku tentang AS telah menurun hingga 25% di Paris. Hal ini menandakan bahwa ketidakpuasan terhadap kebijakan luar negeri bisa berdampak pada keengganan masyarakat untuk berinteraksi dengan budaya Amerika.
Perang dagang yang diluncurkan oleh Trump berfokus pada tarif impor, seperti tarif 25% untuk baja dan 10% untuk aluminium yang telah mengganggu hubungan perdagangan dengan banyak negara, termasuk sekutu AS. Kebijakan ini tidak hanya merugikan eksportir Amerika, tetapi juga mengurangi keinginan masyarakat di negara lain untuk menghabiskan uang mereka di AS. Pemberlakuan tarif ini menunjukan pendekatan “America First” yang dinaungi Trump, di mana ia lebih mengutamakan kepentingan nasional daripada kerja sama multilateral.
Menghadapi situasi ini, banyak orang mulai memandang Amerika Serikat dengan skeptis. Hubert, seorang pengamat dari Prancis, berpendapat bahwa publik menyikapi Amerika lebih kritis akibat kebijakan-kebijakan unilateral yang dibuat oleh mantan presiden. Ia juga menyebutkan bahwa sentimen ini berdampak pada pola konsumsi masyarakat, yang mulai beralih dari produk Amerika ke produk dari negara lain. Misalnya, meningkatnya penjualan buku-buku tentang Kanada sebagai alternatif bagi pembaca yang merasa enggan membeli karya dari penulis AS.
Dengan cepat, perubahan ini mengguncang industri pariwisata dan akademis di Amerika. Mereka yang seharusnya memperkenalkan budaya dan nilai-nilai Amerika di luar negeri, kini terpaksa menghadapi stigma negatif. Perasaan mencolok yang dialami turis AS di luar negeri ditambah dengan penurunan minat masyarakat untuk berkunjung dan membeli produk dari Amerika, menjadi sorotan utama dalam konteks hubungan internasional saat ini.
Situasi ini menggambarkan bagaimana keputusan di tingkat pemerintahan dapat memengaruhi individu secara personal dan kolektif. Dalam konteks ini, identitas nasional seseorang dapat menjadi beban di luar negeri, mengubah cara mereka berinteraksi dan berexperience saat berlibur. Dalam dunia yang semakin terhubung, penting bagi masing-masing dari kita untuk memberikan penghargaan lebih pada keragaman dan saling memahami tanpa terjerat pada kebijakan yang cenderung memecah belah.