
Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengungkapkan keyakinannya bahwa rencananya untuk mengambil alih Jalur Gaza akan berhasil. Hal ini disampaikan Trump pada Jumat, 21 Februari 2025, dalam sebuah pernyataan yang mengejutkan banyak pihak, terutama mengingat penolakan terhadap ide tersebut dari negara-negara tetangga.
“Saya akan memberi tahu Anda cara melakukannya, itu rencana saya. Saya pikir itulah rencana yang benar-benar berhasil. Tetapi saya tidak memaksakannya. Saya hanya akan duduk dan merekomendasikannya,” ungkap Trump seperti dilansir dari ANews. Pernyataan ini menunjukkan pendekatan yang lebih ketat dari Trump terhadap situasi di Gaza, meskipun ia menegaskan bahwa segala langkah yang diambil tidak akan dipaksakan.
Sikap Trump yang optimis tampaknya berseberangan dengan reaksi keras dari negara-negara Arab, khususnya Yordania dan Mesir. Dia menyatakan keterkejutannya atas penolakan yang datang dari dua negara tersebut, mengingat AS memberikan bantuan miliaran dolar setiap tahunnya kepada mereka. “Kami membayar Yordania dan Mesir miliaran dolar setahun, dan saya sedikit terkejut mereka mengatakan itu,” tambahnya.
Dalam pandangan Trump, apabila penduduk Gaza dihadapkan pada pilihan untuk tinggal di Jalur Gaza atau pindah ke lokasi yang lebih baik, mereka akan memilih untuk pergi. Ia menggambarkan Gaza sebagai “lokasi yang bagus” dan mempertanyakan mengapa Israel pernah menyerahkan wilayah tersebut.
Ide pengalihan pemukiman penduduk Gaza ini bukanlah hal baru. Sejak menjabat, Trump sering mengusulkan agar AS “mengambil alih” Gaza dan memindahkan penduduknya untuk membangun kembali daerah tersebut sebagai “Riviera Timur Tengah”. Namun, gagasan ini telah menuai penolakan dari banyak negara dan kalangan internasional yang menganggap tindakan tersebut sebagai suatu bentuk pembersihan etnis.
Kritik terhadap rencana Trump juga datang dari dalam negeri. Banyak tokoh politik dan pembela hak asasi manusia yang menyuarakan keprihatinan mereka terhadap dampak yang akan ditimbulkan oleh langkah tersebut, baik terhadap penduduk Gaza maupun stabilitas regional. Rencana ini, jika dilaksanakan, diprediksi akan meningkatkan ketegangan di kawasan Timur Tengah yang sudah bergejolak oleh konflik berkepanjangan.
Dalam kesempatan yang sama, Trump juga membahas banyaknya ketidakpuasan di lapangan jika rencananya tidak diimplementasikan. Ia mengangkat isu bagaimana bantuan internasional yang selama ini diperoleh Gaza sering kali tidak mencapai tujuan yang diharapkan, sehingga persaingan antara negara-negara untuk mendapatkan pengaruh di wilayah tersebut menjadi semakin intens.
Dari pandangan geopolitik, langkah Trump ini dapat dilihat sebagai upaya untuk meningkatkan pengaruh AS di kawasan Timur Tengah, namun tidak jarang juga dipandang sebagai upaya untuk menciptakan solusi sepihak yang mengabaikan hak dan aspirasi rakyat Palestina. Hal ini melahirkan kekhawatiran bahwa rencana tersebut dapat memperburuk hubungan AS dengan negara-negara Arab lain yang berusaha untuk memfasilitasi perdamaian antara Israel dan Palestina.
Reaksi dunia internasional terhadap rencana ini juga menunjukkan adanya ketidakpastian. Negara-negara seperti Iran dan Turki, yang memiliki hubungan mendalam dengan Palestina, telah mengumumkan penolakannya terhadap rencana ini dan berjanji untuk mendukung rakyat Palestina dalam upaya mereka mencapai kemerdekaan.
Dengan ketegangan yang terus meningkat dan seruan untuk kembali ke meja perundingan, masa depan Jalur Gaza tetap dipenuhi tantangan. Rencana Trump mungkin menjadi topik hangat di kalangan politik internasional, tetapi pelaksanaannya tetap menjadi tanda tanya besar di tengah penolakan yang kuat dari berbagai sisi.