
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengambil keputusan kontroversial dengan menghentikan sementara bantuan militer kepada Ukraina setelah terjadinya perdebatan sengit dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, di Gedung Putih pada Jumat (1/3). Keputusan ini menambah ketegangan yang sudah ada di antara kedua pemimpin, di tengah upaya untuk mengakhiri perang yang telah berkecamuk selama lebih dari tiga tahun pasca invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina.
Seorang pejabat Gedung Putih yang enggan diidentifikasi mengatakan bahwa Trump kini lebih fokus pada upaya mencapai kesepakatan damai yang diharapkan dapat mengakhiri konflik yang berkepanjangan tersebut. “Presiden ingin Zelenskyy benar-benar berkomitmen terhadap perdamaian,” tuturnya. Namun, pejabat itu menambahkan, penghentian bantuan militer dilakukan untuk mengevaluasi kontribusi bantuan tersebut terhadap solusi konflik yang ada.
Pertemuan antara Trump, Wakil Presiden JD Vance, dan Zelenskyy dilaporkan diwarnai dengan ketegangan tinggi. Sebelumnya, pertemuan ini direncanakan akan diakhiri dengan konferensi pers bersama, namun hal itu dibatalkan, dan Zelenskyy diminta keluar lebih awal dari Gedung Putih. Vance menuduh Zelenskyy memiliki rasa berhak atas bantuan Amerika, yang menunjukkan ketidakpuasan pemerintahan Trump terhadap permintaan berkelanjutan Ukraina untuk dukungan militer.
Trump, yang berjanji akan segera mengakhiri perang sebelum terpilih sebagai presiden, tampaknya semakin frustrasi dengan sikap Zelenskyy. Ia meyakini bahwa Presiden Rusia, Vladimir Putin, dapat dipercaya untuk menjaga perdamaian jika kesepakatan gencatan senjata dapat dicapai. Kurangnya kesepakatan tersebut meningkatkan ketegangan antara kedua pemimpin, di mana Trump mengkritik pernyataan Zelenskyy yang menyebutkan bahwa “kesepakatan damai dengan Rusia masih sangat jauh.”
Dalam tanggapannya di platform media sosial Truth Social, Trump menyebut pernyataan tersebut sebagai “pernyataan terburuk yang bisa dibuat oleh Zelenskyy,” menegaskan bahwa Amerika tidak akan lagi mentolerir situasi tersebut. Selain itu, Trump juga menyindir negara-negara Eropa, yang dinilai tidak cukup berdaya menghadapi Rusia tanpa dukungan penuh dari AS. “Eropa, dalam pertemuan mereka dengan Zelenskyy, secara terang-terangan mengatakan bahwa mereka tidak bisa menangani masalah ini tanpa AS—bukan pernyataan yang baik untuk menunjukkan kekuatan melawan Rusia,” tulisnya.
Di tengah ketegangan tersebut, Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, mengecam langkah Trump dan menyerukan agar AS tetap memberikan dukungan kuat bagi upaya penjagaan perdamaian yang dipimpin oleh Eropa. Starmer sebelumnya mengumpulkan para pemimpin Eropa dan Kanada, termasuk Zelenskyy, dalam pertemuan di London pada Minggu (3/3) untuk membahas masa depan konflik di Ukraina, tanpa adanya jaminan penuh dari pihak AS.
Dalam konteks ini, kebijakan luar negeri Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Trump kembali menjadi sorotan. Penghentian bantuan militer ini dianggap dapat memperburuk situasi di Ukraina dan mengubah dinamika geopolitik di kawasan tersebut. Kehadiran AS sebagai sekutu utama Ukraina dirasa sangat penting, namun dengan perubahan sikap Trump, ada kekhawatiran mengenai konsekuensi yang mungkin timbul dari keputusan ini.
Penghentian bantuan ini menciptakan ketidakpastian di kalangan para pemimpin dunia yang mengkhawatirkan dampak jangka panjang dari ketegangan antara AS dan Ukraina terhadap stabilitas kawasan Eropa. Pengamat internasional berpendapat langkah ini dapat mempengaruhi upaya untuk mencapai gencatan senjata dan perdamaian yang diharapkan oleh masyarakat Ukraina.