BAGI banyak orang di Jalur Gaza, ancaman terbaru Presiden Amerika Serikat Donald Trump terasa seperti pembenaran atas kekerasan berkelanjutan dan hukuman kolektif yang mereka alami. Pada Rabu malam, 5 Maret, Trump memperingatkan bahwa semua penduduk Gaza akan menghadapi maut jika tawanan terus ditahan di wilayah tersebut. Dalam konteks yang mengerikan, di mana Gaza jika dilihat dari luar berjuang menghadapi dampak perang yang menghancurkan—termasuk pengungsian massal dan kondisi kemanusiaan yang buruk—warga setempat merasa pesimistis terhadap upaya internasional dalam mencari solusi.
Yasser Al-Sharafa, seorang pedagang berusia 59 tahun yang kini menjalankan stan darurat yang menjual makanan ringan, mengungkapkan bahwa banyak orang di Gaza sudah tidak memiliki lagi yang harus disesali. Sebelumnya, Yasser adalah seorang pedagang pakaian yang sukses dengan bisnis besar. Namun, semua itu telah lenyap akibat konflik. “Apakah masih ada yang tersisa untuk kita sesali? Terlepas dari siapapun yang mengancam, tidak ada bedanya,” ujarnya. Kembali ke wilayah yang hancur, ia merasakan bahwa perdamaian tampak semakin tidak mungkin.
Hal serupa juga disampaikan oleh Jamila Mahmoud, 62 tahun, yang mengatakan bahwa ancaman Trump mungkin merupakan bagian dari strategi psikologis untuk memaksa warga keluar dari Gaza. Ia yakin bahwa Gosip tentang pemindahan paksa dan ancaman terhadap warga sipil bermunculan setiap saat, menambah rasa putus asa di tengah ketidakpastian yang terus menerus menghantui mereka. “Saya akan tetap di tanah saya, meskipun itu hanya puing-puing rumah saya,” tegasnya.
Dalam percakapan dengan Ayman Abu Dayyeh, seorang penduduk berusia 60 tahun, dia menyatakan keinginannya agar Hamas lebih memprioritaskan kepentingan publik agar konflik ini dapat segera berakhir. Menurutnya, menyerahkan tawanan mungkin menjadi solusi pragmatis meski tidak membawa jaminan perdamaian. “Kami sudah cukup menderita dan kehilangan. Negara-negara Arab dan Eropa pun tidak membantu,” ucapnya dengan penuh keputusasaan.
Sementara itu, Wael Abu Ahmed, 75 tahun, juga mengecam ancaman Trump. Ia merasa bahwa seruan tersebut tidak membawa makna, hanya menambah beban penderitaan yang sudah mereka alami. “Biarkan kami sendiri. Kami sudah cukup menderita,” terangnya. Wael jelas menggambarkan perasaan putus asa di kalangan penduduk Gaza, yang sudah kehilangan banyak hal dan melihat kengerian conflict yang tidak berujung.
Saksi mata yang beragam mengisahkan kondisi tragis yang menimpa rakyat Palestina di Gaza, menghadapi ancaman yang nyata baik dari konflik berkepanjangan maupun dari retorika politik internasional yang menyakiti. Banyak yang merasa bahwa mereka terjebak dalam situasi tanpa harapan, di mana ancaman, baik itu dari pemimpin dunia atau pihak lainnya, hanyalah menambah derita.
Dalam konteks yang lebih luas, suara rakyat Gaza bukan hanya soal kelangsungan hidup mereka, tetapi juga hak untuk mempertahankan tempat tinggal, sejarah, dan identitas mereka. Dengan tidak adanya dukungan signifikan dari dunia luar, rasa kesepian dan ketidakberdayaan semakin mendalam. “Kami adalah satu-satunya korban dalam semua ini,” tambah Ayman, menekankan kesulitan yang dialami oleh warga sipil di tengah konflik yang lebih besar.
Kondisi yang semakin mengkhawatirkan ini membuat Palestina tidak hanya terjebak dalam konflik kelam, tetapi juga terpinggirkan dalam narasi global yang sering kali melupakan suara mereka. Ancaman Trump bukan hanya sekedar kata-kata, melainkan simtom dari situasi yang lebih dalam di mana rakyat Palestina terpaksa mengambil sikap, baik untuk berjuang demi merdeka atau menghadapi resiko menghadapi segala ancaman yang ada.