
Pemain sirkus di Indonesia mengejutkan publik dengan pengakuan tentang kondisi buruk yang mereka alami di tempat kerja. Dalam sebuah wawancara di podcast yang dipandu oleh Cak Sholeh, seorang mantan pemain sirkus bernama Butet (nama samaran) mengungkapkan pengalaman traumatisnya yang meliputi penyiksaan fisik dan perlakuan tidak manusiawi. “Pemukulan itu sudah menjadi keseharian kami, bahkan sampai berdarah,” ujarnya, yang menciptakan gambaran gelap tentang dunia sirkus yang seharusnya menyenangkan.
Kisah Butet dimulai saat ia hamil di luar nikah dengan seorang karyawan sirkus. Konsekuensi dari kehamilan tersebut sangat berat bagi dirinya, di mana ia harus dipasung dengan rantai gajah selama pertunjukan berlangsung. “Saya dipasung mulai dari pukul 22.00 WIB hingga pukul 06.00 WIB,” jelasnya, menandakan keterasingan yang mendalam dan hilangnya hak asasi sebagai manusia dalam lingkungan yang seharusnya memberikan kebebasan berekspresi.
Kehidupan sehari-hari di karavan sirkus jauh dari nyaman. Butet mengungkapkan bahwa ia terpaksa menggunakan ember untuk buang air kecil, dan plastik untuk buang air besar, karena tidak adanya fasilitas toilet yang layak di karavan tempat mereka tinggal. Kesulitan ini semakin diperburuk dengan perlakuan kasar yang diterima, seperti disetrum saat terlambat bangun. “Setruman yang digunakan ke tubuh kita itu biasa digunakan buat gajah,” tambahnya, mengindikasikan betapa brutalnya metode disiplin yang diterapkan oleh manajemen sirkus.
Butet juga menyatakan bahwa selama bertahun-tahun menjadi pemain sirkus, ia dan teman-temannya tidak mendapatkan bayaran sama sekali. “Enggak ada sama sekali kasih sayang kepada kita sejak menjadi pemain sirkus. Bahkan, kita enggak digaji,” ungkapnya, yang menekankan betapa mereka hidup dalam kondisi eksploitasi yang ekstrem. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai hak-hak pekerja dan perlunya perlindungan hukum bagi mereka yang terlibat dalam industri hiburan.
Kisah tragis para pemain sirkus ini bukanlah hal baru. Pada tahun 1997, Komnas HAM pernah melakukan pengusutan terkait kasus penyalahgunaan yang terjadi di sirkus-sirkus Indonesia. Namun, sayangnya, kasus tersebut terhenti dan tidak ada kelanjutan yang berarti untuk memperbaiki situasi yang dialami pemain sirkus. Butet menyatakan, “Kami kan orang enggak punya, dari kecil kami ada di sirkus. Jangankan sekolah, akte kelahiran saja kami enggak punya,” menunjukkan betapa sulitnya mereka mendapatkan pengakuan hukum dan pendidikan yang layak.
Dari kejadian ini, terlihat jelas bahwa ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kesadaran publik dan advokasi bagi hak asasi manusia di industri sirkus. Banyak orang mungkin tidak menyadari bahwa di balik pertunjukan sirkus yang tampak menghibur, terdapat realitas pahit yang dialami oleh para pemainnya. Perlunya intervensi dari pemerintah dan masyarakat menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa tidak ada individu yang mengalami perlakuan tidak manusiawi atau eksploitasi.
Kisah Butet dan teman-temannya memunculkan pertanyaan mendasar tentang keberadaan institusi yang seharusnya melindungi hak-hak pekerja di sektor-sektor informal seperti ini. Sebuah langkah konkret diperlukan agar tragedi serupa tidak terulang dan kesejahteraan serta hak asasi manusia para pemain sirkus dapat terjamin di masa depan. Seiring meningkatnya perhatian terhadap isu ini, diharapkan agar kisah-kisah seperti Butet tidak lagi terabaikan dan mendapat pencerahan yang pantas.