Tragedi di Suriah: 750 Warga Sipil Tewas Akibat Operasi Militer

DAMASKUS – Operasi pemberantasan militan di Suriah meningkat drastis dalam beberapa hari terakhir, mengakibatkan lebih dari 1.000 orang tewas, termasuk 745 warga sipil. Hal ini menjadi salah satu kekerasan paling parah dalam konflik sipil yang telah berlangsung selama 13 tahun di negara tersebut. Data ini dikumpulkan oleh Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia, yang juga mencatat adanya 125 anggota pasukan keamanan Suriah dan 148 pejuang yang setia kepada mantan presiden Bashar al-Assad yang terbunuh dalam bentrokan tersebut.

Kepala Observatorium, Rami Abdulrahman, mengungkapkan bahwa peristiwa kekerasan ini terjadi di regional Jableh dan Baniyas, kawasan yang merupakan pusat populasi Alawite. Dalam pernyataannya, ia menyebutkan bahwa pembunuhan massal ini melibatkan banyak perempuan dan anak-anak dari komunitas Alawite, menandakan bahwa konflik ini sering kali bernuansa sektarian.

Pemerintah baru yang mulai berkuasa di Suriah terpaksa mengambil tindakan tegas setelah serangan mematikan oleh militan yang berasosiasi dengan rezim Assad. Dalam bentrokan hebat tersebut, puluhan anggota pasukan keamanan juga dilaporkan tewas. Para pejabat keamanan mengakui adanya pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama operasi pemberantasan ini. Mereka beralasan bahwa situasi menjadi tidak terkendali ketika warga sipil dan pejuang yang tidak terorganisir berupaya untuk mendukung pasukan resmi, menciptakan kekacauan dalam pertempuran.

Untuk mengembalikan ketenangan, pemerintah telah memblokir semua jalan menuju pantai dan mengerahkan pasukan keamanan di jalan-jalan kota pesisir. Selain itu, sebuah komite darurat telah dibentuk untuk memantau pelanggaran yang terjadi, dengan menjanjikan proses hukum bagi siapa pun yang tidak mematuhi perintah komando militer.

Kekerasan yang terjadi tidak hanya berupa bentrokan senjata, tetapi juga mencakup pembunuhan dengan gaya eksekusi terhadap warga sipil. Hal ini menimbulkan keraguan tentang kemampuan penguasa baru untuk memimpin secara inklusif, mengingat banyaknya laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia. Observasi dari Abdulrahman menegaskan bahwa kejadian ini lebih dari sekadar dukungan atau perlawanan terhadap rezim Assad; ini merupakan pembantaian sektarian yang bertujuan untuk mengusir komunitas Alawite dari tempat tinggal mereka.

Presiden sementara Suriah, Ahmed Sharaa, dalam pidato televisi mengungkapkan dukungannya terhadap posisi tegas pemerintah dalam menghadapi militan, dengan pernyataan bahwa pasukan keamanan harus berpegang pada nilai-nilai moral ketika menghadapi tantangan. Dia ber argumen bahwa membiarkan pelanggaran terjadi akan meruntuhkan integritas mereka sebagai penjaga keamanan.

Di tengah ketegangan ini, dilaporkan bahwa ribuan warga Alawite dan Kristen telah melarikan diri dari rumah mereka, khawatir akan keselamatan mereka. Beberapa di antara mereka, termasuk wanita, anak-anak, dan orang tua, mencari perlindungan di pangkalan militer Rusia di Hmeimim, Latakia. Kejadian ini mencerminkan kecemasan yang mendalam di kalangan komunitas minoritas yang terancam dalam situasi politik dan sosial yang semakin kacau.

Kementerian pertahanan dan badan keamanan dalam negeri telah berjanji untuk memulihkan ketenangan dan ketertiban, sambil berupaya mencegah pelanggaran lebih lanjut terhadap hak-hak warga sipil di wilayah pesisir. Namun, ketidakpastian dan ancaman berkelanjutan terus membayangi populasi yang sudah sangat terpuruk akibat konflik ini.

Back to top button