
Kasus kematian Juwita, seorang jurnalis berusia 23 tahun yang ditemukan tewas di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, menghadirkan kebutuhan mendesak untuk penyelidikan yang lebih komprehensif. Juwita tidak hanya menjadi korban pemerkosaan, tetapi juga diduga merupakan korban pembunuhan, yang memunculkan berbagai pertanyaan terkait keadilan dan hak-hak korban.
Tim kuasa hukum Juwita, yang dipimpin oleh Muhamad Pazri, mengajukan permohonan kepada pihak penyidik untuk melakukan tes DNA terhadap sperma yang ditemukan di rahim jenazahnya. Menurut keterangan dokter forensik, volume sperma tersebut cukup besar, mengindikasikan potensi adanya kekerasan seksual yang lebih besar daripada yang selama ini diketahui. “Kami minta untuk segera melakukan tes DNA guna memastikan asal-usul sperma tersebut, sehingga bisa diketahui siapa yang bertanggung jawab,” tegas Pazri.
Permintaan melakukan tes DNA ini merupakan salah satu langkah dalam upaya untuk mendapatkan kejelasan terkait dengan latar belakang kasus yang masih menyisakan banyak pertanyaan. Laporan awal yang diterima menunjukkan bahwa Juwita mengalami kekerasan seksual sebelum dibunuh. Berdasarkan keterangan Pazri, pemerkosaan terjadi dua kali sebelum kematian korban, dengan kejadian pertama diperkirakan terjadi antara tanggal 25 hingga 30 Desember 2024, dan yang kedua pada 22 Maret 2025, saat jasad korban ditemukan.
Pazri menambahkan, pihaknya juga meminta penyidik untuk memeriksa rekaman CCTV di kawasan sekitar lokasi kejadian. Data ini diharapkan bisa memberikan keterangan lebih lanjut mengenai kronologi dan situasi yang mengelilingi peristiwa tragis ini. “Pengecekan rekaman CCTV sangat penting untuk mendapatkan informasi detail mengenai rute perjalanan korban dan kondisi di tempat kejadian,” ungkapnya.
Kasus ini semakin terlihat jelas ketika informasi dari sumber yang dekat dengan keluarga korban menyebutkan terduga pelaku adalah seorang anggota militer dengan inisial ‘J’, yang dikenal sebelumnya bertugas di Pangkalan TNI Angkatan Laut Balikpapan. Kejadian mencurigakan ini bermula dari perkenalan keduanya melalui media sosial. Pelaku diduga meminta Juwita untuk memesan kamar hotel di Banjarbaru di mana serangkaian kejadian tragis pun dimulai.
Lebih lanjut, saat pihak keluarga pertama kali menemukan Juwita di tempat kejadian, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan kecelakaan tunggal, sebaliknya, terdapat memar di leher korban dan hilangnya ponsel sebagai faktor yang memperkuat dugaan adanya tindak kejahatan. “Hasil autopsi menyatakan bahwa kematian Juwita adalah akibat pembunuhan, dengan adanya memar di bagian intim korban, yang menunjukkan bahwa dia mengalami kekerasan sebelum dibunuh,” papar Pazri.
Menyusul segala fakta yang terungkap, pihak kuasa hukum berharap agar penyidik bisa melakukan tes DNA di luar Kalimantan Selatan, seperti di Surabaya atau Jakarta, karena fasilitas forensik di wilayah tersebut dinilai belum memadai untuk mendapatkan hasil yang akurat dan efektif. “Kami akan terus mendesak agar setiap langkah pengusutan dilakukan dengan cepat dan profesional, agar keadilan bagi Juwita dapat ditegakkan,” tutup Muhamad Pazri.
Melihat situasi ini, banyak pihak berharap agar kasus Juwita menjadi titik balik bagi upaya penegakan hukum di Indonesia, terutama dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Diperlukan komitmen bersama dari berbagai pihak untuk memastikan bahwa hal serupa tidak terulang dan setiap korban mendapatkan keadilan yang layak.