TikTok Didenda Rp 9,8 T: Pelanggaran Data Uni Eropa Terungkap!

ByteDance, induk perusahaan TikTok, tengah menghadapi denda yang sangat besar sebesar 530 juta euro atau setara dengan Rp 9,8 triliun. Denda tersebut dijatuhkan oleh Komisi Perlindungan Data Irlandia (DPC), yang menilai TikTok telah melanggar regulasi perlindungan data pribadi Uni Eropa, dikenal sebagai General Data Protection Regulation (GDPR).

Sanksi ini menjadi salah satu yang terbesar ketiga dalam sejarah penerapan GDPR, menunjukkan seriusnya pelanggaran yang dilakukan. Dari total denda tersebut, 45 juta euro (Rp 838 miliar) dialokasikan untuk pelanggaran aspek transparansi, sementara 485 juta euro (Rp 8,3 triliun) berhubungan dengan transfer data pengguna secara ilegal ke China.

DPC dalam keputusan resminya menyatakan bahwa TikTok terbukti melakukan transfer data pengguna dari kawasan Eropa ke China tanpa memberikan jaminan perlindungan yang memadai terhadap risiko pengawasan oleh pemerintah China. Dalam konteks ini, TikTok diberikan batas waktu enam bulan untuk menghentikan semua aktivitas transfer data yang dinilai tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.

Penelusuran DPC berlangsung selama empat tahun, di mana mereka menemukan bahwa meskipun TikTok sebelumnya menyatakan tidak menyimpan data pengguna dari Wilayah Ekonomi Eropa (EEA) di server China, pengakuan terbaru dari perusahaan pada Februari lalu justru menunjukkan hal sebaliknya. Temuan ini dianggap sebagai inkonsistensi yang merugikan pengguna.

Dalam sebuah konferensi pers, Wakil Komisaris DPC Graham Doyle mengungkap bahwa akses terhadap data pengguna Eropa oleh staf TikTok di China dilakukan tanpa adanya verifikasi keamanan atau jaminan perlindungan yang setara dengan standar GDPR. “Meski TikTok telah mengklaim data tersebut kini telah dihapus, kami masih melakukan kajian bersama regulator perlindungan data lain di Uni Eropa untuk menentukan apakah dibutuhkan langkah lanjutan,” tambah Doyle.

Pihak TikTok menyatakan ketidaksetujuan atas keputusan tersebut dan berencana untuk mengajukan banding. Mereka juga menyoroti bahwa regulator tidak sepenuhnya mempertimbangkan inisiatif terbaru mereka, yaitu Project Clover, yang mencakup pembangunan pusat data lokal di Eropa sejak 2023. DPC sendiri menyatakan bahwa perubahan tersebut telah diperhitungkan dalam keputusan akhir yang diambil.

Kasus denda ini bukanlah kejadian pertama bagi TikTok. Sebelumnya, pada tahun 2023, mereka juga dikenakan sanksi sebesar 368 juta dolar AS (sekitar Rp 6 triliun) karena dianggap lalai dalam melindungi privasi remaja berusia 13 hingga 17 tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah pelanggaran data pribadi bukanlah hal baru bagi platform ini.

Saat ini, TikTok masih dalam pengawasan Uni Eropa terkait sejumlah isu tambahan, yang mencakup dugaan intervensi pemilu, sistem verifikasi usia yang kurang tepat, penggunaan algoritma yang dapat membuat pengguna kecanduan, hingga peluncuran TikTok Lite di Prancis dan Spanyol tanpa penilaian risiko yang memadai.

Berita tentang denda yang dijatuhkan kepada TikTok ini menjadi penting untuk diperhatikan, mengingat potensi dampaknya terhadap operasi perusahaan di Eropa dan reputasinya secara global. Pemerintah dan regulator di seluruh dunia semakin ketat dalam menegakkan aturan perlindungan data pribadi, dan kasus ini menjadi salah satu contoh nyata mengenai tantangan yang dihadapi perusahaan teknologi raksasa dalam menjaga kepercayaan pengguna dan memenuhi regulasi yang berlaku.

Exit mobile version