![Terungkap! Alasan CEO Telegram Ditangkap Polisi Prancis](https://octopus.co.id/wp-content/uploads/2025/02/Terungkap-Alasan-CEO-Telegram-Ditangkap-Polisi-Prancis.png)
Pavel Durov, pendiri dan CEO Telegram, ditangkap oleh otoritas Prancis di Bandara Le Bourget pada Sabtu malam, 24 Agustus 2024. Penangkapan ini memberikan dampak besar, mengingat Telegram adalah salah satu platform komunikasi terbesar di dunia dengan lebih dari 950 juta pengguna aktif bulanan. Hingga saat ini, pemerintah Prancis belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait insiden ini, tetapi beberapa sumber dari kepolisian Prancis dan Rusia melaporkan bahwa Durov ditangkap setelah kedatangannya dari Azerbaijan.
Penangkapan Durov dikaitkan dengan surat perintah yang dipenuhi oleh OFMIN (Kantor Pencegahan Kekerasan terhadap Anak di Bawah Umur) Prancis. OFMIN menyatakan bahwa Durov terlibat dalam sejumlah kejahatan serius, termasuk pencucian uang, perdagangan narkoba, serta penyebaran konten pelecehan seksual anak di platform Telegram. Keberadaan Durov di pesawat saat mendarat sudah diketahui oleh pihak kepolisian, yang langsung bertindak untuk menangkapnya.
Telegram, yang awalnya berfungsi sebagai aplikasi chatting sederhana, telah berkembang menjadi platform media sosial yang kompleks. Fitur-fiturnya memungkinkan grup dengan kapasitas hingga 200 ribu anggota, serta saluran untuk penyiaran yang dapat dikomentari oleh pengguna lain. Meskipun platform ini menawarkan keamanan melalui enkripsi ujung-ke-ujung, justru hal ini membuat Telegram menjadi tempat yang menarik bagi kelompok kriminal, ekstremis, dan penganut teori konspirasi.
Kritik utama yang ditujukan kepada Telegram adalah kurangnya moderasi konten, yang diduga memberi ruang bagi aktivitas ilegal dan penyalahgunaan oleh entitas kriminal. Investigasi yang dilakukan oleh kepolisian Prancis berfokus pada bagaimana Telegram bisa dieksploitasi secara luas, serta kegagalan Durov dalam menerapkan langkah-langkah pencegahan yang memadai. Media Eropa, seperti BFMTV dan TF1, melaporkan bahwa Telegram sudah menjadi alat bagi kelompok-kelompok ekstremis di seluruh dunia, termasuk sayap kanan dan kiri di Rusia, serta gerakan seperti QAnon di Amerika Serikat.
Durov, yang lahir di Rusia, mendirikan Telegram setelah meninggalkan negara asalnya pada tahun 2014. Ia menolak permintaan pemerintah Rusia untuk menutup komunitas oposisi di platform media sosial miliknya, VKontakte (VK). Saat ini, Durov berlokasi di Dubai, tempat Telegram berkantor pusat, dan memiliki kewarganegaraan Prancis serta Uni Emirat Arab. Sebelumnya, ia telah tinggal di beberapa kota besar dunia seperti Berlin, London, dan San Francisco sebelum akhirnya menetap di Dubai, yang dianggapnya sebagai lokasi yang mendukung bisnis secara optimal dan netral.
Keberadaan Telegram yang menyediakan akses informasi tanpa filter di tengah peningkatan kontrol media oleh Kremlin, menjadikannya platform yang populer, terutama di negara-negara bekas Uni Soviet. Namun, popularitas ini juga diiringi dengan kekhawatiran munculnya konten yang bersifat ekstrem dan berbahaya. Telegram dianggap sebagai ekosistem ideal bagi proses radikalisasi akibat kemudahan dan kebebasan yang ditawarkan.
Dengan ditangkapnya Durov, masa depan Telegram kini menjadi sorotan publik. Banyak pihak memperhatikan bagaimana peristiwa ini akan berdampak pada operasi dan reputasi perusahaan, terutama terkait masalah moderasi konten dan tanggung jawab sosial dalam mencegah penyebaran kejahatan melalui platformnya. Penangkapan ini tidak hanya menimbulkan pertanyaan tentang tindakan hukum yang akan diambil selanjutnya, tetapi juga tantangan yang akan dihadapi oleh Telegram di masa mendatang, seiring dengan terus berkembangnya masalah terkait keamanan dan penyalahgunaan konten di platform digital.