Teror Perempuan Korea Selatan: Menghadapi Gelombang Deepfake Pornografi

Di Korea Selatan, kemajuan teknologi memberikan dampak positif sekaligus ancaman baru bagi perempuan. Salah satu aspek paling mengkhawatirkan adalah munculnya fenomena deepfake pornografi, yang membuat banyak wanita menjadi korban eksploitasi seksual digital.

Sejak teknologi deepfake berkembang, sangat mudah bagi pelaku untuk mengambil foto-foto biasa dari media sosial dan mengeditnya menjadi konten pornografi palsu. Fenomena ini membuat banyak perempuan merasa tidak aman, tidak hanya di dunia maya tetapi juga di kehidupan sehari-hari. Mereka kini sering kali merasa diawasi dan tertekan.

Contoh nyata dari hal ini adalah pengalaman Ruma, seorang mahasiswi, yang hidupnya berubah drastis setelah foto-fotonya diambil dan disebarluaskan di grup Telegram dalam bentuk editan pornografi. Ruma, yang merasa tertekan dan terancam, mengatakan, “Aku tak pernah membayangkan, foto-foto biasa yang kuunggah bisa dipakai untuk mempermalukanku seperti ini.” Pengalaman serupa dialami Kim, seorang guru SMA, yang mengetahui dirinya menjadi korban setelah muridnya menunjukkan foto-foto editan yang menyebar di Twitter. “Tanganku gemetar, aku merasa seluruh dunia menjadi tempat yang berbahaya,” ungkapnya.

Kasus-kasus ini semakin mengkhawatirkan, terutama di kalangan pelajar. Tahun lalu, lebih dari 900 siswa, guru, dan staf mengaku menjadi korban kejahatan seksual yang berbasis deepfake. Ini belum termasuk kasus yang melibatkan universitas. Dengan lebih dari 964 kasus ditindaklanjuti pada tahun lalu, hanya 23 pelaku yang berhasil ditangkap, menunjukkan bahwa hukum dan aparat penegak hukum seringkali tertinggal dalam menangani kejahatan ini. Meskipun pemerintah Korea Selatan telah memperketat hukum dan menaikkan ancaman hukuman hingga tujuh tahun penjara, kenyataannya masih jauh dari harapan.

Salah satu masalah besar adalah kurangnya empati publik terhadap para korban. Banyak komentar di media sosial yang meremehkan penderitaan para perempuan, dengan pernyataan yang menyatakan, “Itu kan bukan tubuh asli mereka.” Aktivis Won Eun-ji menegaskan bahwa selama masyarakat terus menganggap remeh isu ini, para pelaku akan merasa aman untuk terus melakukan kejahatan tersebut.

Tekanan juga mulai diarahkan ke platform digital seperti Telegram dan Twitter (sekarang X) agar lebih bertanggung jawab dalam menghapus konten ilegal dan membantu penegakan hukum. Meskipun langkah-langkah ini diperlukan, sebagian besar korban merasa perubahan tersebut tidak cukup cepat untuk mengatasi rasa takut yang menyebar di masyarakat.

Ruma, mewakili banyak perempuan lainnya, mengatakan, “Kami hidup dalam ketakutan. Kami tidak tahu siapa yang berikutnya, atau kapan foto kami akan disalahgunakan lagi.” Ancaman deepfake kini membayangi hampir setiap wanita di Korea Selatan. Situasi ini tidak hanya mengubah perilaku online tetapi juga transformasi dalam dunia nyata, menjadikan setiap sudut kehidupan perempuan semakin terancam.

Dalam konteks ini, perlu adanya tindakan yang lebih tegas dan cepat baik dari pemerintah, masyarakat, dan platform digital untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi perempuan. Keberadaan deepfake sebagai alat untuk eksploitasi seksual tidak hanya merusak reputasi individu tetapi juga melanggengkan budaya patriarki yang berbahaya.

Berita Terkait

Back to top button