
Dalam pidato bersejarahnya di Konferensi Dialog Intra-Islam yang diadakan pada akhir Februari 2025 di Bahrain, Syekhul Azhar Prof. Dr. Ahmad Ath-Thayyib menekankan pentingnya persatuan umat Islam sebagai respon terhadap tuntutan krisis yang melanda dunia, terutama yang berkaitan dengan perjuangan rakyat Palestina. Dalam acara yang dihadiri oleh 400 tokoh Islam dari berbagai mazhab, Ahmad menyatakan, “Palestina bukan hanya milik rakyatnya, tetapi milik seluruh umat Islam.” Pernyataan ini mencerminkan urgensi situasi Palestine yang kian kritis akibat upaya pengusiran paksa dan perampasan tanah di Jalur Gaza.
Imam Akbar ini menyoroti bahwa perjuangan Palestina seharusnya menjadi kompas bagi seluruh umat Islam dalam menjalin persatuan. Ia menegaskan bahwa “Jika kita gagal bersatu membela Palestina, kita telah gagal sebagai umat.” Ini merupakan panggilan bagi umat Islam untuk tidak hanya berbicara soal persatuan, tetapi juga menerapkannya dalam tindakan nyata.
Dalam pidatonya, ia menggarisbawahi bahwa dunia Islam saat ini berada dalam keadaan darurat. Menurutnya, “Dunia Islam tidak bisa lagi tertidur dalam ilusi perpecahan.” Ia menilai bahwa badai krisis bukan hanya berdampak pada eksistensi umat, melainkan juga pada peradaban Islam yang sudah ada selama lebih dari 15 abad. Ahmad mengkritisi usaha mendekatkan antarmazhab yang selama ini banyak dilakukan hanya sebatas diskusi akademis yang minim implementasi di lapangan.
Dalam konteks ini, ada kebutuhan mendesak untuk menjadikan persatuan Islam sebagai realitas dalam aspek politik, sosial, dan ekonomi. Ahmad menggunakan perbandingan dengan Eropa yang mampu menjalin kesatuan meskipun terdiri dari banyak negara dan etnis. “Jika mereka yang bukan Muslim mampu membangun persatuan, mengapa umat Islam masih gagal?” tanyanya retoris.
Salah satu usulan konkret yang dilontarkan adalah penyusunan ‘Konstitusi Ahlul-Qiblah’. Ini adalah piagam persaudaraan Islam berdasarkan hadis yang mengajak umat untuk saling menghargai, tanpa mengabaikan perbedaan keyakinan. Ia menggambarkan pentingnya membangun dialog yang berbasis kesamaan, bukan perbedaan. “Kita harus menetapkan prinsip emas bahwa kita bekerja sama dalam hal yang kita sepakati dan saling memaafkan dalam hal yang kita perselisihkan.”
Ahmad juga mengingatkan bahwa persatuan tidak berarti menyeragamkan keyakinan, melainkan membuka ruang komunikasi dan kerja sama di antara berbagai kelompok dalam Islam. Dalam konteks ini, dia menyinggung Dar At-Taqrib yang pernah berfungsi sebagai platform dialog antara ulama Sunni dan Syiah pada 1949-1957.
Lebih lanjut, Ahmad memberikan peringatan keras terhadap adanya agenda-agenda pihak luar yang mencoba memecah belah umat Islam dan menggunakan sektarianisme sebagai alat untuk menciptakan ketegangan. “Mereka yang menyebarkan fitnah dan mempermainkan stabilitas negara-negara Muslim adalah pelaku kejahatan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam,” tegasnya.
Melalui pidatonya, Ahmad menyerukan agar seluruh umat Islam memperkuat solidaritas dan tidak melupakan saudara-saudara mereka di Palestina. Dalam masa bulan suci Ramadan, ia mendorong umat untuk menjadikan doa bagi Palestina sebagai bagian dari ibadah dan munajat di malam hari, berharap agar Allah memberikan kemenangan kepada mereka yang terjepit oleh kezaliman.
Dengan tekanan yang semakin tinggi pada rakyat Palestina dan tren baru dalam hubungan Sunni-Syiah, klarifikasi Ahmad tentang urgensi persatuan menjadi lebih relevan dari sebelumnya. Hal ini menciptakan landasan baru bagi dialog dan kolaborasi di kalangan umat Islam untuk merespon tantangan yang dihadapi, serta menjaga keberlangsungan civilizational Islam di masa depan.