Sri Mulyani Sentil Trump: Kebijakan Tarif AS Abaikan Ilmu Ekonomi!

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan pernyataan tajam menanggapi kebijakan tarif impor yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Dalam sebuah acara Sarasehan Ekonomi yang diadakan pada 8 April 2025, Sri Mulyani menyebut tarif yang dikenakan terhadap 60 negara, termasuk Indonesia, sebagai kebijakan yang tidak berlandaskan pada prinsip ekonomi yang solid.

Sri Mulyani menegaskan, “Tarif resiprokal yang disampaikan oleh Amerika terhadap 60 negara menggambarkan cara penghitungan tarif yang saya rasa, semua yang belajar ekonomi pun tidak bisa memahami.” Pernyataan tersebut mencerminkan rasa skeptisnya terhadap aspek-aspek pragmatis dari kebijakan tersebut yang dinilai tidak memperhatikan teori ekonomi internasional yang berlaku.

Lebih lanjut, Sri Mulyani menilai pendekatan Trump dalam mengatasi masalah perdagangan bersifat transaksional, berfokus pada penutupan defisit perdagangan tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekonomi global. Ia menyatakan, “Yang penting pokoknya tarif duluan. Tujuannya hanya untuk menutup defisit. Tidak ada ilmu ekonominya di situ. It’s purely transactional.” Hal ini menunjukkan kekhawatiran mengenai dampak negatif dari kebijakan tersebut terhadap stabilitas ekonomi dunia.

Sikap pragmatis yang ditunjukkan oleh Trump berbanding terbalik dengan pandangan Sri Mulyani yang mengandung nuansa teoretis dalam pendekatan ekonomi. Ia juga menyinggung pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang telah memperingatkan jajarannya tentang pentingnya menyadari dunia yang sekarang dipimpin oleh para realis dan pragmatis, bukan lagi oleh praktisi ekonomi klasik.

Dalam konteks ini, Sri Mulyani menggarisbawahi bahwa kebijakan tarif Trump telah memberikan dampak signifikan terhadap pasar global. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot hingga 9,19% sebagai respons atas kebijakan tersebut, sementara nilai tukar rupiah mencapai angka Rp 17.000 per dolar AS. Situasi ini menciptakan ketidakpastian yang dapat berpotensi mengganggu iklim investasi dan perdagangan.

Bagi Sri Mulyani, momen ini menjadi tantangan yang harus dihadapi dengan keterbukaan pikiran, mengedepankan pendekatan pragmatis yang fleksibel. Ia menekankan, “Ini adalah situasi yang harus kita hadapi secara open minded dan pragmatik. Harus cepat dan lincah. Kebijakan apa yang bisa dilakukan, koreksi, atau manfaatkan peluang, harus dilakukan sekarang.”

Dalam menghadapi perubahan kebijakan eksternal yang drastis, Sri Mulyani merekomendasikan agar pemerintah dan pelaku industri melakukan penyesuaian yang cepat dan strategis. Setiap langkah yang diambil harus berdasarkan pada pemantauan yang cermat terhadap dinamika global, terutama yang terjadi akibat kebijakan perdagangan yang diambil oleh negara adidaya seperti Amerika Serikat.

Kebijakan tarif naluri pragmatis oleh Trump ini tidak hanya dinilai berpotensi merugikan negara-negara yang dikenakan tarif, tetapi juga dapat memicu langkah balasan dari negara-negara lainnya, yang semakin memperpersulit situasi perdagangan internasional yang sudah kompleks. Dalam kondisi ini, penting bagi Indonesia untuk tetap mewaspadai kebijakan-kebijakan yang dapat mempengaruhi perekonomian domestiknya secara langsung.

Sebagai sebuah negara yang masuk dalam daftar negara yang terkena dampak, Indonesia perlu beradaptasi dalam menghadapi tantangan perdagangan global yang tidak stabil. Dengan panduan dari Sri Mulyani, diharapkan kebijakan ekonomi Indonesia dapat bergerak cepat dalam merespons perubahan global, tanpa kehilangan fondasi ekonomi yang sehat dan berkelanjutan.

Berita Terkait

Back to top button