Kondisi industri manufaktur Indonesia menunjukkan tanda-tanda merosot menjelang akhir tahun. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, menyebutkan bahwa kontraksi dalam sektor ini, yang terukur melalui Purchasing Manager’s Index (PMI) pada April 2025, diakibatkan oleh berbagai tekanan baik dari dalam maupun luar negeri.
Dalam laporan terakhir, PMI Manufaktur Indonesia menunjukkan angka 46,7, yang menandakan fase kontraksi karena berada di bawah nilai ambang 50. Angka ini mencerminkan penurunan signifikan dalam aktivitas bisnis, yang dapat berdampak luas pada perekonomian nasional. Dalam konteks yang lebih luas, hasil Indeks Kepercayaan Industri (IKI) juga menunjukan perlambatan dengan nilai 51,90 pada bulan yang sama, meskipun masih dalam kategori ekspansi. Kenyataan ini memperlihatkan adanya ketidakpastian yang terus mengganggu sektor industri.
Shinta menjelaskan bahwa tekanan eksternal, seperti kebijakan tarif dari Amerika Serikat dan dampaknya terhadap nilai tukar, menambah beban pada biaya impor bahan baku. Hal ini berimplikasi pada inflasi biaya dan menurunnya kepercayaan pada konsumsi global. “Kontraksi kinerja manufaktur dipicu oleh kebijakan luar negeri dan situasi ekonomi domestik yang lemah,” ujarnya.
Pemulihan ekonomi nasional juga terhambat oleh penurunan permintaan di pasar domestik, terutama pasca-Ramadan dan Lebaran, di mana banyak pelaku usaha mengalami koreksi permintaan yang signifikan. “Inflasi Maret hanya 1,03% (yoy) yang berada di bawah target nasional menunjukkan ketidakstabilan dalam permintaan,” imbuh Shinta.
Dalam konteks ini, kepercayaan pelaku usaha untuk melanjutkan ekspansi menjadi semakin rendah. Shinta menekankan bahwa peningkatan beban produksi tanpa ditemani peningkatan permintaan di dalam dan luar negeri menambah tantangan bagi pertumbuhan sektor manufaktur. Ia memperkirakan bahwa kontraksi PMI dapat berlanjut hingga akhir triwulan kedua 2025 dan bahkan mungkin terus berlanjut hingga akhir tahun, tergantung pada respon pemerintah terhadap tekanan eksternal.
Pemerintah dipandang harus mengambil langkah konkret melalui deregulasi dan stimulus ekonomi yang lebih konsisten untuk membalikkan kondisi ini. “Kita perlu tindakan yang cepat dan efektif untuk menstabilkan nilai tukar, meningkatkan efisiensi, dan mendorong investasi. Jika tidak, akan sulit bagi PMI untuk kembali ke zona pertumbuhan,” jelasnya.
Meski ada rencana stimulus dari pemerintah, Shinta menekankan bahwa implementasi sering kali lamban dan tidak konsisten. “Pengalaman dari UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa deregulasi tidak selalu berjalan mulus. Oleh karena itu, masih terlalu dini untuk menilai dampak dari langkah-langkah yang telah diambil,” katanya.
Shinta mengajak pemerintah untuk tidak terlalu bergantung pada hasil perundingan dengan AS yang mungkin mempengaruhi kebijakan tarif. “Kerugian telah terjadi, dan dampaknya sudah mulai dirasakan. Maka, Indonesia perlu segera mempercepat reformasi struktural yang mendukung investasi dan sektor usaha nasional,” tambahnya.
Permasalahan ini menjadi perhatian penting bagi pelaku industri di Indonesia mengingat potensi dampak jangka panjang terhadap perekonomian jika tidak ditangani dengan serius. Dalam situasi yang kompleks ini, baik pelaku usaha maupun pemerintah diharapkan dapat bersinergi untuk menemukan solusi yang tepat guna menjaga stabilitas sektor manufaktur dan perekonomian secara keseluruhan.