Serangan Rudal Balistik Rusia Tewaskan 21 Orang di Ukraina!

Setidaknya 21 orang tewas dan 83 lainnya terluka setelah serangan rudal balistik yang dilancarkan Rusia di pusat kota Sumy, Ukraina utara, pada Minggu pagi, 13 April 2025. Menteri Dalam Negeri Ukraina, Ihor Klymenko, mengkonfirmasi bahwa serangan tersebut merupakan salah satu yang paling mematikan di negara ini tahun ini. Presiden Volodymyr Zelensky mengutuk kejadian ini sebagai tindakan biadab yang merenggut nyawa warga sipil yang tidak bersalah.

Zelensky menyatakan, “Hanya bajingan yang dapat bertindak seperti ini.” Ia menekankan bahwa serangan brutal tersebut dilakukan pada hari penting bagi umat Kristiani, yaitu Minggu Palem, ketika banyak orang pergi ke gereja. Dalam sebuah unggahan di media sosial, ia membagikan video mengerikan yang menunjukkan mayat-mayat tergeletak di tanah, beserta bus dan mobil yang terbakar di tengah lorong kota yang hancur.

Menteri Klymenko melaporkan bahwa para korban tewas dan terluka berada di berbagai lokasi, termasuk di jalan, di dalam kendaraan, transportasi umum, dan dalam gedung-gedung pada saat serangan. Ia menggambarkan serangan ini sebagai tindakan penghancuran sengaja terhadap warga sipil di hari raya gereja yang penting.

Serangan ini terjadi setelah kunjungan utusan khusus Amerika Serikat, Steve Witkoff, ke Moskow, di mana ia bertemu dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, untuk mendiskusikan kemungkinan kesepakatan damai bagi Ukraina. Andriy Kovalenko, seorang pejabat di Pusat Penanggulangan Disinformasi Ukraina, memberikan catatan bahwa situasi diplomatik tersebut tampaknya tidak mempengaruhi keputusan Rusia untuk melanjutkan serangan-serangan yang menargetkan warga sipil.

“Rusia membangun semua yang disebut diplomasi ini … di sekitar serangan terhadap warga sipil,” ungkap Kovalenko melalui Telegram. Penekanan ini mencerminkan kecemasan aus pemerintah Ukraina mengenai niat di balik serangan tersebut, yang dianggap semakin memperumit upaya mencapai perdamaian.

Zelensky menyerukan agar Amerika Serikat dan negara-negara Eropa lainnya memberikan tanggapan yang tegas terhadap tindakan Rusia yang ia sebut sebagai terorisme. “Rusia ingin menyebarkan teror seperti ini dan memperpanjang perang. Tanpa tekanan terhadap agresor, perdamaian tidak akan mungkin tercapai,” tegasnya.

Perlu dicatat bahwa sejak dimulainya konflik pada Februari 2022, Rusia telah menguasai sekitar 20% wilayah Ukraina, terutama di bagian timur dan selatan negara tersebut. Meskipun demikian, belakangan ini, pasukan Rusia telah mengalami kemajuan yang lambat, sementara serangan rudal dan drone menjadi cara dominan dalam melancarkan perang.

Pascaserangan ini, banyak pengamat internasional menyerukan untuk intensifikasi dukungan bagi Ukraina, baik dalam bentuk bantuan militer maupun sanksi yang lebih keras terhadap Rusia. Situasi yang terus memanas ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan diplomasi dan dialog tetap mendesak, meskipun realitas di lapangan seringkali berlawanan.

Pemerintah Ukraina, di bawah kepemimpinan Zelensky, tetap berupaya untuk memperkuat berbagai saluran komunikasi dengan sekutu-sekutu internasionalnya untuk melawan agresi Rusia. Di saat yang sama, mereka menghadapi tantangan besar dalam menjaga keselamatan dan keamanan warga sipil di tengah intensifikasi serangan. Berbagai laporan mengenai dampak humaniter dari perang ini terus mengalir, menunjukkan tuntutan mendesak untuk tindakan lebih lanjut di tingkat global.

Berita Terkait

Back to top button