
Kabinet keamanan Israel, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, telah mengambil langkah signifikan dengan memutuskan untuk memperluas serangan terhadap Hamas di Gaza. Keputusan ini terungkap pada Senin, 5 Mei 2025, dan menandai rencana untuk menguasai seluruh wilayah Gaza. Menurut seorang pejabat Israel yang tidak disebutkan namanya, tujuan utama dari serangan ini adalah untuk membebaskan wilayah yang dikuasai oleh kelompok militan.
Laporan dari penyiar publik Israel, KAN, menyatakan bahwa operasi ini bakal dilaksanakan secara berangsur dan diperkirakan memakan waktu beberapa bulan. Target awal dari operasi tersebut akan tertuju pada area yang telah hancur akibat pertempuran yang berkepanjangan. Israel saat ini mengontrol sekitar sepertiga wilayah Gaza dan telah melakukan operasi darat sejak Maret lalu. Operasi tersebut dilanjutkan setelah upaya gencatan senjata menemui kegagalan.
Menteri Kabinet Keamanan Israel, Zeev Elkin, menyatakan bahwa tenggat waktu untuk pelaksanaan rencana ofensif ini memberikan peluang untuk terjadinya gencatan senjata. “Masih ada peluang hingga Presiden Trump mengakhiri kunjungannya ke Timur Tengah, jika Hamas memahami bahwa kami serius,” ungkap Elkin. Kunjungan Presiden Amerika Serikat ke kawasan diharapkan dapat membuka ruang dialog mengenai situasi di Gaza.
Strategi yang diterapkan dalam serangan kali ini berbeda dari sebelumnya. Alih-alih menarik diri setelah menyerang, pasukan Israel berencana untuk mempertahankan wilayah yang berhasil diambil dan terus melakukan operasi hingga Hamas dilumpuhkan atau setuju untuk melucuti senjata. Namun, Hamas telah menolak ajakan untuk menyerahkan senjatanya maupun meninggalkan Gaza, yang menambah kerumitan eskalasi konflik.
Sebagaimana dilaporkan, dampak dari operasi militer ini sangat serius bagi penduduk sipil di Gaza. Sekitar 2,3 juta warga Gaza kini menghadapi krisis kemanusiaan yang mendalam, dengan sebagian besar mengungsi dan tergantung pada bantuan kemanusiaan yang terus menipis akibat blokade yang diberlakukan Israel.
Lebih jauh, rencana ofensif ini mencakup pemindahan penduduk sipil Gaza ke wilayah selatan untuk mengurangi risiko. Israel juga berupaya untuk mencegah bantuan kemanusiaan jatuh ke tangan Hamas, meskipun blokade terhadap bantuan secara keseluruhan belum akan dicabut.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini mengecam rencana distribusi bantuan Israel, yang dinilai dapat memperburuk situasi kemanusiaan di Gaza. PBB menekankan ketidak efektifannya dan berpotensi menambah kesulitan bagi warga sipil yang mengalami kesulitan.
Sekretaris Jenderal Dewan Pengungsi Norwegia, Jan Egeland, mengecam tindakan Israel yang meminta PBB dan organisasi non-pemerintah untuk menghentikan sistem distribusi bantuan di Gaza. Tindakan ini menimbulkan kekhawatiran tambahan mengenai keberlangsungan hidup jutaan warga yang sangat membutuhkan bantuan. Egeland menyatakan, “Mereka ingin memanipulasi dan memiliterisasi semua bantuan untuk warga sipil, memaksa kami untuk mengirimkan pasokan melalui pusat-pusat yang dirancang oleh militer Israel.”
Saat dunia menantikan hasil dari langkah-langkah ini, tantangan kemanusiaan di Gaza akan terus meningkat, sedang konflik antara Israel dan Hamas semakin dalam. Tantangan-tantangan ini tidak hanya berpengaruh pada hubungan antara kedua belah pihak, namun juga akan membawa konsekuensi yang lebih luas di tingkat internasional.