
Dalam tiga bulan terakhir, pasar modal Indonesia mengalami gejolak yang signifikan, dengan aliran modal asing yang tercatat telah kabur mencapai Rp 29,92 triliun. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan bahwa kondisi ini menjadi salah satu dampak dari pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang turun 3,83% pada bulan Maret 2025. Penurunan ini signifikan, di mana IHSG tercatat melemah 8,04% jika dilihat dari awal tahun hingga saat ini.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Inarno Djajadi, menjelaskan bahwa aksi jual bersih oleh investor asing di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai Rp 8,02 triliun secara monthly-to-date (mtd). Hal ini mencerminkan ketidakpastian yang dirasakan oleh para investor, terutama di tengah dinamika ekonomi global yang semakin tidak menentu.
“Nilai kapitalisasi pasar kini tercatat sebesar Rp 11.126 triliun, mengalami kenaikan 2,27% secara mtd, namun masih menunjukkan penurunan sebesar 9,80% year-to-date,” ungkap Inarno dalam rapat bulanan OJK yang diadakan pada 11 April 2025.
Melihat kondisi pasar yang bergejolak, OJK mencatat ada 21 emiten yang merencanakan buyback tanpa perlu mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan total anggaran mencapai Rp 14,97 triliun. Kebijakan ini diatur dalam Pasal 7 Peraturan OJK (POJK) Nomor 13 Tahun 2023, memberikan fleksibilitas bagi emiten untuk menghadapi ketidakpastian pasar yang ada.
Hingga saat ini, 15 dari 21 emiten yang merencanakan buyback telah mengeksekusi kebijakan tersebut dengan nilai realisasi mencapai Rp 429,72 miliar. Langkah ini dipandang sebagai upaya untuk menjaga stabilitas harga saham di tengah keluarnya modal asing.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menyatakan bahwa sektor keuangan nasional tetap kokoh dan mampu bertahan dari tekanan eksternal. Dalam rapat Dewan Komisaris yang diadakan pada akhir Maret 2025, OJK menegaskan bahwa stabilitas sektor jasa keuangan di Indonesia masih terjaga.
Perkembangan ekonomi global menunjukkan pola yang beragam, dengan Amerika Serikat mengalami perlambatan dan proyeksi kontraksi PDB, sementara Tiongkok dan Eropa menunjukkan kinerja yang lebih baik. Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) baru-baru ini memangkas proyeksi pertumbuhan global menjadi 3,1% untuk tahun ini, sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi berada di kisaran 4,9%.
Inflasi di Indonesia juga menunjukkan tren yang terjaga dengan angka 1,03% pada Maret, sedangkan inflasi inti tercatat sebesar 2,48% pada Februari. Meskipun terlihat stabil, OJK mengkhawatirkan potensi moderasi dalam beberapa indikator permintaan yang dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, perekonomian global dihadapkan pada tantangan akibat kebijakan tarif impor yang diberlakukan oleh pemerintah AS. Meskipun kondisi domestik Indonesia tetap solid, penting untuk mencermati perkembangan eksternal yang dapat mempengaruhi aliran investasi ke dalam negeri.
Data menunjukkan bahwa pasar saham Indonesia yang mengalami tekanan saat ini berpotensi untuk pulih jika langkah-langkah strategis mulai dijalankan. Investor asing yang selama ini menjadi penopang pasar diharapkan dapat kembali masuk ke pasar dengan kondisi yang lebih kondusif. OJK dan kendali regulasi diharapkan bisa menciptakan lingkungan pasar yang lebih stabil, menjadikan Indonesia tetap menarik bagi para investor global di tengah gejolak ekonomi yang terjadi saat ini.