
Sejarawan dari Universitas Syiah Kuala (USK) Aceh, M Adli Abdullah, menyerukan seluruh elemen bangsa untuk mendukung inisiatif Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam memproduksi film tentang Kekaisaran Ottoman dan Kerajaan Aceh. Dalam pernyataannya, Adli menekankan bahwa pembuatan film ini memiliki potensi besar untuk mempererat hubungan budaya antara Indonesia dan Turki, khususnya di Aceh yang memiliki banyak kesamaan budaya dan agama dengan negara tersebut.
Adli meyakini bahwa upaya ini tidak hanya akan memperkuat hubungan bilateral, tetapi juga mendorong pelestarian warisan budaya, kolaborasi seni, serta pertukaran akademik dan riset di kalangan kedua negara. “Melalui film dan media lainnya, kita bisa membangun kapasitas dalam manajemen talenta budaya dan meningkatkan keberagaman budaya kontemporer di kawasan kita,” ungkapnya dalam sebuah wawancara pada 12 April.
Inisiatif ini muncul setelah adanya hubungan yang baik antara Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang baru-baru ini saling melakukan kunjungan. Adli menekankan sejarah panjang persahabatan antara Indonesia dan Turki, yang berawal sejak abad ke-16 ketika Kerajaan Aceh dan Kekaisaran Ottoman menjalin kerjasama. “Sejak sambungan diplomatik resmi pada tahun 1950, hubungan ini terus berkembang, baik dalam bidang perdagangan maupun kerjasama militer,” jelasnya.
Sejarah hubungan antara Kerajaan Aceh dan Kekaisaran Ottoman dimulai sejak abad ke-13 dengan Samudra Pasai. Kerajaan Aceh, setelah Portugis menaklukkan Melaka, mendapat dukungan dari Turki Utsmani dalam melawan penjajahan Portugis dan Inggris di kawasan Asia Tenggara. “Kerajaan Aceh dan Turki Utsmani melakukan banyak kerjasama, termasuk pengiriman duta, pasukan, dan ahli persenjataan. Dalam banyak hal, dukungan Turki Utsmani sangat vital bagi Aceh,” tambah Adli.
Bentuk kerjasama itu mencakup pengiriman duta besar, bantuan pasukan, dan pertukaran teknologi persenjataan. Kerajaan Aceh menerima pelatihan dari teknisi Turki tentang cara membuat senjata berat seperti meriam. Bukti kuat akan hubungan kedua daerah ini dapat dilihat pada surat-surat diplomatik yang disimpan di Badan Arsip Turki di Istanbul.
Kompleks Makam Teungku di Bitay Aceh juga menjadi salah satu simbol penting dari hubungan ini, di mana nama-nama bergaya Turki masih ada di Aceh, seperti Efendi dan Bey. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh budaya dan politik Turki Utsmani begitu mendalam dalam sejarah Aceh.
Tidak hanya dari kalangan akademisi, dukungan juga datang dari mahasiswa, seperti Muhammad Jundi Rabbani, yang saat ini belajar di Sakarya University, Turki. Ia mencatat bahwa banyak tradisi dan budaya agama di Turki yang memiliki kesamaan dengan Indonesia, seperti perayaan Ramadan dan suasana sahur. “Film yang menceritakan kisah Aceh dan Turki sangat penting untuk menjaga hubungan baik antara dua negara,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengungkapkan komitmennya untuk mempererat hubungan sejarah dan budaya antara Indonesia dan Turki melalui produksi film tentang Kekaisaran Ottoman dan Kesultanan Aceh. Ia mengarahkan langkah kementeriannya untuk menjadikan kerjasama ini bukan hanya sekedar film, tetapi juga melibatkan pameran seni dan pembangunan fasilitas budaya Indonesia di Turki.
Fadli menambahkan bahwa, “Kedua negara ini memiliki populasi Muslim yang besar dan banyak elemen budaya yang bisa dikolaborasikan, termasuk warisan budaya takbenda yang patut diusulkan ke UNESCO.” Dengan semangat kolaborasi antara kedua negara, diharapkan film yang akan diproduksi dapat menjadi jembatan komunikasi dan memperkuat hubungan yang sudah terjalin selama berabad-abad.