
Sejarawan terkemuka asal Israel, Avi Shlaim, baru-baru ini mengemukakan pandangannya yang provokatif mengenai masa depan Zionisme. Dalam sebuah wawancara, ia menilai bahwa gerakan Zionisme sedang mengalami proses penghancuran diri akibat dari kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Israel saat ini, terutama di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Shlaim, yang merupakan profesor emeritus di Universitas Oxford dan dikenal sebagai salah satu pelopor gerakan “Sejarawan Baru,” menyatakan bahwa kebijakan yang semakin keras dan agresif terhadap Palestina menciptakan krisis moral dan politik yang mendalam, tidak hanya bagi rakyat Palestina tetapi juga bagi masa depan Israel itu sendiri.
Lahir di Irak pada tahun 1945 dalam keluarga Arab-Yahudi, pengalaman hidup Shlaim telah membentuk perspektifnya yang unik dalam mempelajari sejarah Palestina dan Israel. Melalui karya-karyanya, Shlaim banyak membongkar narasi tradisional yang berkaitan dengan pendirian Israel dan konflik yang menyertainya. Bukunya yang terbaru, “Genocide in Gaza: Israel’s Long War on Palestine,” merangkum analisis tajam tentang kejahatan perang yang terjadi di Gaza dan bagaimana Israel dipandang melakukan genosida terhadap rakyat Palestina.
Shlaim menjelaskan bahwa bukunya lahir dari kewajiban moral untuk mengungkapkan kebenaran kepada dunia tentang apa yang terjadi di Gaza, terutama di tengah krisis kemanusiaan yang akut. Ia menekankan bahwa tindakan kejam yang dilakukan oleh Israel telah dinormalisasi dan sering kali didukung oleh negara-negara Barat, yang menciptakan lingkungan impunitas. Dalam pandangannya, tindakan ini tidak hanya membawa penderitaan bagi rakyat Palestina, tetapi juga merusak citra dan masa depan Zionisme sebagai gerakan.
Selama wawancara, Shlaim mengungkapkan bahwa perubahannya menjadi anti-Zionis dimulai sejak ia melakukan penelitian di arsip negara Israel, di mana ia menemukan catatan sejarah yang bertentangan dengan narasi resmi yang selama ini diyakini. Ia menyebutkan, “Saya diradikalisasi di arsip. Saya menemukan bahwa Israel dengan sengaja memprovokasi konflik dan tidak pernah benar-benar memiliki niat untuk mencapai perdamaian.”
Pandangan kontroversial Shlaim mengundang tanggapan berbagai kalangan. Beberapa orang mempertanyakan klaimnya mengenai genosida, namun ia dengan jelas menunjukkan bahwa tindakan Israel di Gaza, termasuk penutupan akses bantuan kemanusiaan, merupakan langkah yang secara jelas melanggar hukum internasional. “Israel tidak memiliki hak untuk membela diri jika serangan datang dari wilayah yang berada di bawah kendalinya,” tegas Shlaim.
Ia juga mengkritik dukungan tanpa syarat yang diberikan oleh negara-negara Barat kepada Israel, yang menurutnya telah merusak sistem internasional berdasarkan hukum. Shlaim berpendapat bahwa situasi ini memberikan peluang bagi Israel untuk melakukan aksi agresif yang tidak terbatasi. Dia menekankan bahwa ketidakseimbangan kekuasaan antara Israel dan Palestina membuat kesepakatan damai sukarela hampir mustahil dicapai.
Di sisi lain, Shlaim menyatakan bahwa meskipun berlangsungnya agresi tersebut, ia melihat ada harapan di kalangan masyarakat sipil global, termasuk gerakan BDS (Boycott, Divestment, Sanctions) yang menuntut diakhirinya pendudukan Israel dan pengakuan hak-hak Palestina. Ia menilai, “Zionisme sedang dalam proses menghancurkan dirinya sendiri, dan efek dari kekejaman ini akan memunculkan kesadaran dan dorongan untuk keadilan di antara orang-orang di seluruh dunia.”
Dengan demikian, analisis kritis Shlaim menyoroti tantangan besar yang dihadapi oleh gerakan Zionisme dan menunjukkan potensi kebangkitan dalam mempromosikan keadilan bagi semua orang di kawasan tersebut. Ketika dunia menyaksikan peristiwa-peristiwa yang terus berlangsung, suara-suara sejarawan dan akademisi seperti Shlaim menjadi semakin penting dalam upaya penegakan hak asasi manusia dan perdamaian yang berkelanjutan di Timur Tengah.