
Publik Indonesia baru-baru ini dihebohkan oleh kontroversi terkait RUU TNI yang dibahas oleh Komisi I DPR RI. Penolakannya berasal dari kekhawatiran bahwa RUU ini akan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI, sebuah fenomena yang sangat mencolok di masa Orde Baru. Dwifungsi ABRI memunculkan peran ganda militer bukan hanya dalam aspek pertahanan, tetapi juga dalam politik dan pemerintahan, yang kini berpotensi kembali dipertanyakan.
Sejarah dwifungsi ABRI pertama kali dicanangkan oleh Presiden Soekarno dan Jenderal AH Nasution. Dalam Dies Natalis Akademi Militer Nasional (AMN) pada 1958, Nasution memperkenalkan konsep “Jalan Tengah” yang membuktikan dorongan militer untuk terlibat dalam politik. Ia menekankan bahwa saat itu, kekuatan tentara sangat diperlukan untuk mengimbangi pemerintahan sipil yang dominan. Dwifungsi ABRI diakui secara resmi pada tahun 1969 melalui Ketetapan MPRS Nomor II oleh Presiden Soeharto. Konsep ini mengizinkan anggota militer untuk terlibat dalam arena politik dan memiliki peran strategis dalam pengambilan keputusan di pemerintahan.
Masa kejayaan dwifungsi ABRI terlaksana secara signifikan dalam dinamika politik Indonesia. Di bawah kepemimpinan Soeharto, tentara berperan aktif di bidang politik melalui Fraksi ABRI, yang kemudian diubah menjadi Fraksi TNI-Polri pasca Soeharto. Namun, tawaran ini tidak lepas dari kontroversi. Kebijakan ini kerap dianggap sebagai bentuk pembatasan demokrasi dan penguasaan kekuasaan militer yang berlebihan. Sejumlah pelanggaran hak asasi manusia dan tindakan represif terhadap oposisi kerap dikaitkan dengan dwifungsi ABRI.
Perdebatan publik berlanjut hingga tahun 1998, ketika Indonesia memasuki Era Reformasi. Pergerakan mahasiswa menuntut “Kembalikan ABRI kepada Rakyat” sebagai respon terhadap dominasi militer dalam politik. Permintaan ini menjadi salah satu tanda awal akan hilangnya pengaruh militer dalam pemerintahan. Pada tahun 2004, Presiden Abdurrahman Wahid, yang dikenal dengan Gus Dur, secara resmi menghapus dwifungsi ABRI dan mengubah nama ABRI menjadi TNI. Keputusan ini diambil seiring dengan pemilihan anggota DPR melalui pemilu yang lebih terbuka, menandai pergeseran jelas menuju demokrasi.
Di era pasca-reformasi, meskipun dwifungsi ABRI telah dihapus, isu hubungan antara militer dan politik tetap relevan. Beberapa tokoh, seperti Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan memberikan peringatan tegas tentang potensi kebangkitan kembali pengaruh militer dalam politik. Yudhoyono menekankan pentingnya pemisahan antara militer dan politik serta menyarankan anggota militer yang ingin berpartisipasi dalam pemerintahan untuk mundur dari dinas militer mereka terlebih dahulu.
Kemunduran pengaruh dwifungsi ABRI menciptakan suasana baru di mana otonomi politik sipil semakin terlihat, namun ancaman untuk munculnya kembali kekuatan militer di dunia politik masih bergetar dalam wacana masyarakat. Kritik terhadap RUU TNI saat ini juga mencerminkan kekhawatiran publik terhadap potensi pengulangan sejarah, di mana militer kembali memiliki kekuasaan yang sangat berpengaruh di ranah sipil.
Dari sejarah ini, terlihat bahwa dwifungsi ABRI tidak hanya memengaruhi tatanan politik di Orde Baru, tetapi juga menciptakan warisan panjang yang masih memahami dinamika hubungan antara militer dan politik di Indonesia hingga saat ini. Kontroversi yang muncul tentang RUU TNI menjadi pengingat akan pentingnya menjaga demokrasi dan menyeimbangkan kekuatan sipil dan militer dalam membangun masa depan bangsa.