
Dalam forum konsinyering mengenai penyusunan RUU Perkoperasian yang diadakan di Jakarta, Ketua Presidium Forum Koperasi Indonesia (Forkopi) Andy Arslan Djunaid menekankan pentingnya pengesahan RUU Perkoperasian oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Komisi VI DPR. Menurutnya, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang telah berusia 33 tahun sudah tidak lagi mampu mengakomodasi kepentingan koperasi di era modern. “Koperasi membutuhkan regulasi yang baru dan relevan,” ungkap Andy saat acara yang dihadiri oleh puluhan anggota Baleg dari berbagai fraksi dan pengurus koperasi dari banyak daerah.
Perubahan regulasi ini diharapkan dapat memberdayakan koperasi sebagai tulang punggung ekonomi kerakyatan, di mana koperasi di berbagai daerah seperti Pontianak, Makassar, dan Jogjakarta hadir untuk menyuarakan aspirasi mereka. Di sisi lain, Habib Syarif Muhammad, Anggota DPR RI Fraksi PKB, mengingatkan bahwa dalam menyusun regulasi, penting untuk menyeimbangkan penguatan hukum dengan semangat koperasi yang didasarkan pada gotong royong. Ia mengkhawatirkan bahwa adanya pasal-pasal pidana dalam RUU tersebut dapat menghambat partisipasi anggota dan pengurus koperasi. “Pendekatan hukum yang terlalu kaku justru dapat mengurangi spirit koperasi,” tegasnya.
Hal ini sejalan dengan pandangan akademisi yang turut hadir dalam diskusi tersebut. Dua Guru Besar Fakultas Hukum, Angkasa dan Rena Yulia, mengkritik adanya sanksi pidana dalam RUU Perkoperasian. Angkasa mendorong agar kriminalisasi perlu dilakukan dengan hati-hati, terutama dalam penerapan sanksi penjara yang dianggap berpotensi overkriminalisasi. “Hukuman penjara yang terlalu singkat tidak efektif dan dapat meningkatkan residivisme,” tambah Angkasa.
Rena Yulia juga menegaskan pentingnya rumusan ketentuan pidana yang jelas dan proporsional, agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat melukai perkembangan koperasi. Dalam hal ini, diperlukan adanya hukum pidana yang mendukung, bukan justru merugikan. “Saat merumuskan regulasi, larangan utama seharusnya diatur dalam norma administratif, sedangkan ancaman pidana hanya menjadi alat untuk penegakan norma tersebut,” kata Rena.
Melihat hal ini, Forkopi menjalankan inisiatif untuk bersuara dan memperjuangkan perubahan regulasi yang lebih simpatik terhadap kebutuhan koperasi. Mereka berharap agar regulasi yang dihasilkan tidak hanya mengakomodasi kepentingan hukum, tetapi juga tetap menjaga semangat gotong royong yang menjadi intisari koperasi. Upaya menjembatani antara kepentingan hukum dan kondisi nyata di lapangan merupakan langkah penting agar koperasi tetap dapat berkembang dan berkontribusi dalam perekonomian nasional.
Berdasarkan data yang ada, koperasi di Indonesia memiliki potensi besar, namun tanpa adanya kearifan dalam regulasi, semangat kolektif yang mendasari koperasi bisa tercoreng oleh ketentuan hukum yang terlalu rigid. Dengan mempertimbangkan karakteristik unik dari koperasi, terutama koperasi kecil yang berbasis komunitas, legislasi yang akan datang diharapkan mampu mendorong pertumbuhan sektor ini tanpa membebani pengurus dan anggota dengan ketentuan yang menakutkan.
Melalui forum ini, semua pihak berkepentingan diharapkan dapat bersatu untuk menghasilkan regulasi yang bijak, adil, dan mampu mengakomodasi semua elemen dalam ekosistem koperasi di Indonesia. Pasalnya, koperasi memiliki peran strategis dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama di tingkat daerah. Kearifan dalam penyusunan regulasi menjadi kunci agar koperasi dapat terus berdiri tegak dan berkontribusi positif bagi pembangunan ekonomi bangsa.