Regulasi AI Perlu untuk Perangi Hoax dan Deepfake, Simak Alasannya!

Pakar kecerdasan buatan (AI), Bari Arijono, menyatakan bahwa regulasi yang tepat dibutuhkan dalam menghadapi peningkatan penggunaan teknologi AI, terutama untuk menanggulangi masalah hoaks dan deepfake. Hal tersebut disampaikannya saat menjelaskan tantangan yang dihadapi dalam era digital ini, dimana informasi dapat disebarkan secara cepat dan luas dengan bantuan teknologi tersebut.

Menurut Bari, kehadiran regulasi AI yang komprehensif sangat penting untuk melindungi masyarakat dari berita palsu yang kian sulit dibedakan dari kenyataan. “Kita harus punya peraturan yang kuat untuk menangkal dan menyaring banyaknya hoax dan deepfake lewat AI. Teknologi harus hadir untuk bisa menangkap bahwa ini adalah berita hoax, ini berita palsu, berita bohong,” ungkapnya. Dengan demikian, diharapkan masyarakat dapat terhindar dari informasi yang menyesatkan.

Fenomena deepfake sendiri adalah teknologi yang menggunakan algoritma deep learning untuk menciptakan video, audio, atau gambar yang sangat mirip dengan aslinya, sehingga sulit untuk dibedakan. Data dari Vida menunjukkan bahwa kasus deepfake di Indonesia meningkat drastis, mencapai 1.550 persen antara tahun 2022 hingga 2023. Hal ini menjadi indikasi jelas bahwa ancaman yang ditimbulkan oleh teknologi tersebut semakin nyata dan mendesak perlunya tindakan.

Bari juga menyoroti dampak negatif yang ditimbulkan oleh AI, terutama terhadap anak-anak. Dengan semakin banyaknya anak-anak Gen Z yang berinteraksi dengan AI lewat percakapan, risiko masalah psikologis semakin meningkat. “AI itu bisa bikin decision making, memberi keputusan. Kamu harus begini, harus seperti itu. Itu AI itu bisa. Itu bahayanya buat anak-anak kalau tidak kita awasin,” ujarnya dengan nada khawatir. Ia mengingatkan bahwa interaksi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan ketergantungan dan bahkan tindakan berbahaya.

Untuk mengatasi masalah ini, Bari mengusulkan beberapa langkah penting, antara lain pembatasan akses bagi anak-anak terhadap teknologi AI. Ia menginginkan pemerintah untuk dapat membatasi akses AI dari perangkat milik orang tua, sehingga pengawasan terhadap penggunaan AI dapat lebih ketat.

Lebih jauh lagi, Bari menyerukan perlunya penyatuan panduan penggunaan AI dari berbagai kementerian yang ada di Indonesia. Saat ini, panduan yang berbeda-beda membuat masyarakat bingung mengenai cara dan aturan yang berlaku. “Komdigi ingin menyatukan agar setiap kementerian bisa memberikan panduan yang sama. Dewan Pers juga punya panduan sendiri kan. Punya panduan yang sama, ini perlu dirumuskan bersama-sama oleh Komdigi dan seluruh Kementerian Pembangunan untuk AI seperti apa, terutama untuk masyarakat umum,” jelasnya.

Usulan-usulan tersebut mencerminkan keinginan untuk memiliki kerangka hukum yang kuat dan terkoordinasi guna memanfaatkan potensi inovasi teknologi AI, tanpa harus mengorbankan keamanan dan integritas masyarakat. Bari menekankan bahwa regulasi yang sedang disusun oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) diharapkan mampu mengakomodasi semua poin penting ini.

Dengan adanya regulasi yang tepat, diharapkan teknologi AI dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kemajuan bangsa. Namun, tanpa pengawasan dan aturan yang memadai, teknologi ini dapat menjadi alat yang disalahgunakan, yang justru akan membawa dampak negatif bagi masyarakat. Ke depannya, perlunya kerjasama antara berbagai pihak, baik pemerintah, akademisi, dan masyarakat, akan sangat krusial dalam menjaga keamanan dan kebenaran informasi di era digital yang semakin kompleks ini.

Back to top button