
Kenaikan premi asuransi kesehatan di Indonesia diprediksi akan berlanjut pada tahun ini, seiring dengan tingginya inflasi medis yang mencapai 10,1% pada tahun lalu. Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Cipto Hartono, menyebutkan bahwa penyesuaian premi menjadi langkah penting untuk memastikan keberlanjutan operasional perusahaan asuransi dan kemampuan mereka dalam memenuhi klaim yang diajukan oleh nasabah.
Dalam pernyataan resmi, Cipto menjelaskan bahwa rata-rata kenaikan premi bervariasi di antara perusahaan asuransi, tergantung pada portofolio serta pengalaman klaim yang mereka miliki. Beberapa faktor utama yang dipertimbangkan dalam penyesuaian tarif premi meliputi tren inflasi medis nasional, adanya pengalaman klaim di masa lalu, serta peningkatan biaya di rumah sakit dan harga obat-obatan.
Cipto juga menambahkan bahwa AAUI mendorong anggotanya untuk melakukan peninjauan tarif secara berkala berdasarkan analisis aktuaria dan pemantauan data klaim yang nyata. Hal ini diharapkan dapat mengurangi beban finansial bagi pemegang polis sembari tetap menjaga kualitas layanan asuransi kesehatan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turut berperan dalam pengawasan penyesuaian premi ini. Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK, Iwan Pasila, mengungkapkan bahwa kenaikan harga kesehatan yang terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia, disebabkan oleh inflasi medis yang lebih tinggi dibanding inflasi umum. Hal ini menciptakan tantangan tersendiri dalam industri asuransi kesehatan.
“Rata-rata inflasi medis yang tinggi dipengaruhi oleh fenomena overutilisasi di layanan medis dan obat, ditambah dengan pola hidup tidak sehat, populasi yang menua, serta dampak jangka panjang dari pandemi Covid-19,” ungkap Iwan dalam kesempatan yang sama. Oleh karena itu, upaya untuk mengendalikan biaya kesehatan ke depan harus menyasar faktor-faktor yang menyebabkannya.
Lanjut Iwan, OJK memiliki rencana untuk meningkatkan efisiensi dalam ekosistem asuransi kesehatan, termasuk peningkatan kemampuan digital perusahaan asuransi. Pendekatan ini bertujuan agar mereka dapat berkomunikasi dan berbagi data secara lebih efisien dengan penyedia layanan kesehatan, seperti rumah sakit.
OJK juga mendorong perusahaan asuransi untuk membentuk Medical Advisory Board (MAB), yang berfungsi sebagai badan penasihat. Mereka akan memberikan masukan tentang pola layanan medis dan obat yang tepat, serta membantu perusahaan asuransi dalam pengelolaan data medis yang ada.
Di sisi lain, kolaborasi antarpenyelenggara jaminan kesehatan juga menjadi fokus perhatian OJK. Melalui penggalakan penggunaan fitur co-payment untuk rawat jalan dan rawat inap, OJK berharap dapat menciptakan sinergi yang lebih baik antara BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Jasa Raharja, ASABRI, dan TASPEN. Dengan cara ini, diharapkan akan tercipta perilaku pemberian layanan medis yang efisien dan berbasis pada clinical pathways yang sudah terverifikasi.
Kenaikan premi asuransi kesehatan bukanlah isu yang dapat diabaikan, terutama dalam situasi inflasi medis yang terus melonjak. Anggota masyarakat harus siap untuk beradaptasi dengan perubahan ini, sekaligus menyadari pentingnya memiliki asuransi kesehatan sebagai alat perlindungan terhadap risiko kesehatan yang kian kompleks. Sebagai langkah pencegahan, disarankan bagi individu untuk mengevaluasi kembali polis asuransi yang mereka miliki dan mempertimbangkan opsi yang tersedia untuk mendukung kebutuhan kesehatan mereka ke depan.