Prabowo Usulkan Hapus Outsourcing: Sejarah dan Peran di Dunia Kerja

Perbincangan mengenai sistem ketenagakerjaan di Indonesia kembali mengemuka setelah Presiden terpilih Prabowo Subianto mengusulkan penghapusan outsourcing. Pengusulan ini dinilai sebagai respons terhadap tuntutan buruh yang menginginkan perlindungan dan kepastian kerja yang lebih baik. Untuk memahami urgensi dari usulan ini, penting bagi kita mendalami definisi outsourcing, sejarahnya di Indonesia, serta perannya dalam dunia kerja.

Outsourcing, secara umum, adalah sistem di mana suatu perusahaan menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain yang berfungsi sebagai penyedia jasa tenaga kerja. Dalam praktiknya, pekerja outsourcing tidak langsung dipekerjakan oleh perusahaan utama, melainkan oleh perusahaan penyedia tenaga kerja. Sistem ini umumnya diterapkan pada pekerjaan penunjang atau non-inti, seperti keamanan, kebersihan, atau administrasi. Tujuannya adalah memungkinkan perusahaan untuk lebih fokus pada kegiatan inti mereka dan meningkatkan efisiensi operasional.

Sejarah outsourcing di Indonesia dimulai pada awal 1990-an, saat konsep ini mulai dikenal luas seiring dengan berkembangnya era globalisasi. Popularitas sistem ini semakin meningkat setelah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang disahkan di bawah kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri. Dalam undang-undang tersebut, outsourcing dibatasi untuk jenis pekerjaan tertentu yang tidak langsung terkait dengan proses produksi utama perusahaan.

Perubahan regulasi tentang outsourcing juga terjadi melalui Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021, yang memperjelas batasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan serta memperkuat perlindungan hak-hak pekerja. Meskipun demikian, di lapangan masih banyak ditemukan praktik yang memicu polemik terkait perlindungan dan kesejahteraan pekerja.

Keberadaan sistem outsourcing membawa keuntungan bagi perusahaan. Di antaranya termasuk efisiensi biaya operasional, fokus yang lebih baik pada bisnis inti, serta fleksibilitas dalam pengelolaan tenaga kerja. Namun, dampak negatif dari sistem ini menjadikan banyak buruh mengeluhkan ketidakpastian status kerja, perbedaan upah yang tidak seimbang, serta minimnya perlindungan sosial dan hak pesangon. Ketidakpastian ini menjadikan penghapusan outsourcing sebagai salah satu tuntutan utama dalam aksi buruh.

Dalam pandangannya, Prabowo Subianto menilai bahwa sistem outsourcing mengandung banyak ketidakadilan yang perlu diperbaiki. Dia berargumen bahwa penghapusan sistem ini merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan bagi pekerja di Indonesia. Selain itu, melalui usulan ini, Prabowo berharap dapat menciptakan lapangan kerja yang lebih adil dan manusiawi.

Usulan ini datang di tengah banyaknya laporan mengenai praktik outsourcing yang dianggap merugikan buruh. Banyak pekerja mengedepankan bahwa hak-hak mereka sering kali diabaikan, dan upah yang mereka terima tidak sebanding dengan beban kerja yang harus ditanggung. Hal ini semakin mendorong buruh untuk bersikap lebih kritis terhadap perlunya peningkatan regulasi dan kebijakan yang lebih pro-pekerja.

Bagaimana implementasi dari usulan Prabowo ini masih menjadi tanda tanya. Jika diterima, penghapusan sistem outsourcing akan memerlukan evaluasi menyeluruh terhadap regulasi yang ada, serta komitmen dari berbagai pihak untuk menciptakan model ketenagakerjaan yang lebih baik. Pekerjaan dan kesetaraan hak menjadi hal yang krusial dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Melihat konteks dan fakta yang ada, langkah Prabowo untuk menghapus sistem outsourcing perlu menjadi perhatian serius. Usulan ini tidak hanya sekadar wacana, melainkan dapat menjadi momentum untuk memperjuangkan hak-hak buruh dan meningkatkan kualitas hidup para pekerja di Indonesia.

Berita Terkait

Back to top button