
Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengusulkan untuk melonggarkan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebagai respons terhadap kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terhadap barang-barang impor. Usulan ini menimbulkan keprihatinan di kalangan beberapa stakeholder industri, terutama di sektor otomotif.
Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Yohannes Nangoi, menyatakan bahwa melonggarkan kebijakan TKDN berpotensi membawa dampak negatif bagi industri otomotif di Indonesia. Menurutnya, industri otomotif telah berkembang dan berinvestasi selama puluhan tahun dengan memanfaatkan komponen dalam negeri. “Industri otomotif kita sudah bangun puluhan tahun lho ya. Kita enggak mau bahwa industri ini ambruk. Nanti ini kita akan koordinasikan dengan pemerintah terkait hal tersebut,” ungkap Nangoi dalam sebuah konferensi pers di Jakarta pada 17 April 2025.
Dalam konteks kebijakan ini, TKDN merupakan persentase komponen dalam negeri yang harus terkandung dalam pembuatan suatu produk, khususnya di sektor otomotif. Kebijakan TKDN bertujuan untuk mendorong penggunaan produk lokal guna meningkatkan daya saing industri dalam negeri. Namun, jika kebijakan ini dilonggarkan, ada risiko barang-barang impor dapat masuk ke pasar Indonesia dengan lebih leluasa. Hal ini berpotensi tidak hanya menggerus pasar produk domestik, tetapi juga dapat mematikan industri yang telah dibangun selama bertahun-tahun.
Nangoi menambahkan, bahwa kondisi ini membuat pihaknya meminta agar pemerintah mempertimbangkan dan menganalisis secara matang setiap keputusan yang diambil terkait kebijakan TKDN. Jika industri otomotif dalam negeri terancam, dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh produsen, tetapi juga akan mempengaruhi ribuan tenaga kerja yang bergantung pada ekosistem industri otomotif di Indonesia.
Keputusan mengenai perubahan kebijakan TKDN tidak hanya memengaruhi sektor otomotif tetapi juga merupakan bagian dari strategi negara dalam menghadapi dinamika perdagangan global. Di satu sisi, pelonggaran TKDN bisa memberikan ruang bagi barang-barang impor yang lebih murah untuk memasuki pasar domestik, tetapi di sisi lain, hal tersebut dapat menyebabkan dampak jangka panjang yang merugikan pada pertumbuhan industri lokal.
Sebagai langkah antisipatif, Nangoi menjelaskan pentingnya koordinasi antara industri dan pemerintah. “Kita perlu berkomunikasi dengan pemerintah untuk menjaga keseimbangan antara kebijakan yang mendukung industri dalam negeri dan realita perdagangan internasional,” ujarnya.
Mengingat kompleksitas permasalahan ini, penting bagi semua pihak untuk terlibat dalam diskusi yang konstruktif, terutama pemerintah, pengusaha, dan organisasi terkait lainnya. Penetapan kebijakan yang jelas dan konsisten akan sangat membantu menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi industri otomotif di Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, industri otomotif Indonesia telah menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, berkontribusi terhadap PDB nasional dan menciptakan lapangan kerja. Namun, dengan adanya tantangan baru yang dihadapi, termasuk pengaruh kebijakan dari negara lain, industri ini harus tetap waspada dan adaptif terhadap perubahan.
Dengan mempertimbangkan semua faktor tersebut, langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah dalam menyikapi usulan pelonggaran TKDN harus dilakukan dengan hati-hati. Hal ini demi menjaga keberlangsungan industri otomotif nasional serta melindungi lapangan kerja bagi banyak masyarakat Indonesia. Dialog dan kolaborasi antara pemerintah dan pelaku industri menjadi kunci dalam menghadapi tantangan yang mungkin akan muncul di masa depan.