
Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, mengingatkan pentingnya persatuan di antara negara-negara Asia Tenggara dalam menghadapi dampak dari kebijakan tarif besar-besaran yang diterapkan oleh Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump. Kebijakan tarif yang bersifat proteksionis ini, yang tidak hanya ditujukan kepada negara-negara rival tetapi juga kepada sekutu, telah menimbulkan gejolak di pasar keuangan global dan mengundang kekhawatiran serius bagi pemerintahan di seluruh dunia, termasuk di kawasan ASEAN.
Dalam sebuah pidato yang disampaikan di rapat staf departemen perdana menteri, Anwar menekankan bahwa solidaritas diantara negara anggota ASEAN yang memiliki total populasi sekitar 640 juta jiwa dan kekuatan ekonomi substansial sangat diperlukan. “Kita harus berdiri teguh bersama sebagai ASEAN. Dengan kekuatan kolektif kita, kita bisa menghadapi tantangan ini,” ungkap Anwar pada pertemuan yang berlangsung pada hari Senin.
Malaysia, yang saat ini memegang kursi ketua ASEAN, berencana untuk memfasilitasi diskusi mendalam melalui pertemuan para menteri ekonomi Asia Tenggara yang akan berlangsung pada hari Kamis mendatang. Tujuan utama dari pertemuan ini adalah merumuskan strategi gabungan untuk menghadapi tarif yang telah diberlakukan oleh AS tersebut. Dampak dari kebijakan ini sangat nyata di beberapa negara anggota ASEAN, misalnya, Vietnam yang merupakan salah satu produsen terbesar dunia, kini dikenakan tarif sebesar 46% untuk ekspornya ke AS. Kamboja, yang terkenal sebagai pusat produksi pakaian murah untuk merek-merek internasional, menghadapi bea masuk yang lebih tinggi lagi, yakni 49%.
Sementara itu, Malaysia, sebagai ekonomi terbesar ketiga di ASEAN, dikenakan tarif yang lebih rendah yaitu 24%. Indonesia, di sisi lain, harus berhadapan dengan tarif yang mencapai 32%. Kebijakan ini adalah hasil dari respon AS terhadap klaim bahwa Indonesia mengenakan tarif tinggi terhadap produk-produk asal Amerika.
Di tengah peningkatan ketegangan perdagangan ini, Malaysia dan negara-negara anggota ASEAN lainnya tidak berencana untuk membalas dengan menerapkan tarif serupa terhadap produk AS. Menteri Perdagangan Malaysia, Tengku Zafrul Aziz, menyatakan dalam sebuah konferensi pers bahwa dua kesalahan tidak akan menghasilkan kebenaran. “Kami harus tetap tenang demi mencegah eskalasi yang bisa memicu perang dagang, yang jelas tidak akan menguntungkan ekonomi global,” tegasnya.
Langkah Malaysia untuk memimpin respons kolektif ASEAN ini muncul di saat ketegangan dalam perdagangan global semakin meningkat. Anwar menambahkan bahwa salah satu prioritas pemerintahannya adalah untuk memastikan komunikasi yang erat dengan negara mana pun di kawasan untuk menjaga agar ASEAN tetap kompetitif dan stabil, terutama di tengah guncangan ekonomi yang tidak terduga ini.
Pertemuan mendatang diharapkan dapat menghasilkan kesepakatan strategis yang memperkuat posisi ASEAN dalam menghadapi kebijakan proteksionisme yang diberlakukan oleh AS. Menurut Direktur Dewan Ekonomi Nasional AS, Kevin Hassett, lebih dari 50 negara telah menghubungi Gedung Putih untuk memulai perundingan perdagangan setelah tarif impor besar-besaran diumumkan oleh Trump. Pernyataan ini datang sebagai respons terhadap serangkaian kebijakan yang telah memicu reaksi balasan dari berbagai negara, khususnya Tiongkok, dan menyebabkan penurunan saham AS yang signifikan dalam waktu dekat.
Keadaan ini mencerminkan bahwa ketidakpastian dalam perdagangan global sedang meningkat, dan kebijakan tarif yang diterapkan oleh AS tidak hanya mempengaruhi ekonomi negara lain tetapi juga mengguncang stabilitas perekonomian dunia secara keseluruhan. Perusahaan-perusahaan di berbagai sektor harus bersiap untuk menghadapi kemungkinan dampak lanjutan dari kebijakan perdagangan yang bisa memicu retorika yang lebih tajam dan tindakan lebih lanjut di arena internasional.