
Wakil Ketua Komisi X DPR dari Fraksi PKB, Lalu Hadrian Irfani, mengungkapkan kecaman mendalam terhadap tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Edy Meiyanto. Dalam pernyataannya pada Minggu (13/4/2025), Irfani menilai bahwa tindakan tersebut merupakan perbuatan amoral dan asusila yang sangat mencoreng citra seorang akademisi.
Edy Meiyanto dilaporkan melakukan kekerasan seksual terhadap belasan mahasiswi selama periode 2023-2024. Akibatnya, rektor UGM telah memecat Edy dari jabatannya sebagai dosen serta melanggar kode etik yang berlaku di universitas. Lalu Ari tegas menyatakan bahwa jika Edy terbukti bersalah secara hukum, tidak hanya harus dipecat dari statusnya sebagai aparatur sipil negara (ASN), tetapi juga gelar profesor yang disandangnya harus dicabut. “Dia telah merendahkan harkat martabatnya sebagai seorang akademisi,” tegasnya.
Lebih jauh, Lalu Ari mencatat bahwa integritas moral adalah syarat fundamental bagi siapapun yang menyandang gelar akademik, khususnya gelar guru besar. “Membiarkan individu dengan pelanggaran etik berat tetap berada dalam jajaran pengajar akan mencederai kepercayaan publik kepada dunia akademik,” ungkapnya. Ia juga menyerukan kepada Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi untuk mengambil tindakan tegas dan sistemik terkait isu ini, serta mengevaluasi regulasi yang ada, termasuk Permendikti Saintek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi.
Pentingnya evaluasi ini disampaikan dengan harapan bahwa perguruan tinggi akan lebih disiplin dalam melaksanakan kebijakan mencegah dan menangani kekerasan seksual. Lalu Ari menambahkan bahwa perlu ada mekanisme pelaporan yang aman dan responsif bagi korban serta sanksi administratif bagi perguruan tinggi yang lalai dalam penanganan masalah ini. “Kita harus membangun budaya yang berintegritas dan bebas dari kekerasan seksual,” serunya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifah Fauzi, juga memberikan dukungan penuh terhadap langkah-langkah yang diambil oleh Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UGM. Dia menyatakan bahwa kementeriannya telah berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi DI Yogyakarta untuk memastikan proses pemeriksaan berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku. “Kami mendukung tindakan cepat yang dilakukan Satgas PPKS UGM untuk mendampingi para korban,” ujarnya.
Kasus ini menggambarkan adanya relasi kuasa yang menyimpang dan mencerminkan praktik kekerasan seksual yang serius. Dalam konteks ini, Arifah menggarisbawahi pentingnya adanya Satgas PPKS di setiap kampus. “Perguruan tinggi memiliki peran strategis sebagai ujung tombak dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Upaya ini harus dilakukan dengan melibatkan seluruh sivitas akademika,” tuturnya.
Sementara itu, Komnas HAM juga menyampaikan pandangannya, meminta agar hukuman untuk pelaku kekerasan seksual dari kalangan akademisi dan profesional kesehatan diperberat. Menurut Anis Hidayah, Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM, para pelaku seharusnya menjadi pelindung tetapi justru melakukan tindakan kriminal. Ia menegaskan perlunya pengawalan terhadap kasus-kasus kekerasan seksual ini agar penegak hukum memberikan sanksi yang seberat-beratnya kepada pelaku.
Kasus ini telah menimbulkan gelombang protes dan seruan untuk tindakan tegas dari berbagai kalangan, baik dari lembaga pemerintah, akademisi, maupun masyarakat umum, khususnya dalam upaya menciptakan lingkungan akademik yang aman dan bebas dari kekerasan seksual.