Perang Dagang Makin Panas, Harga Bitcoin Terancam Naik Turun?

Harga Bitcoin menunjukkan kestabilan yang mengesankan, berada di kisaran USD84.000 hingga USD86.000 atau setara Rp1,44 miliar pada pertengahan April 2025. Meskipun tidak ada lonjakan signifikan, angka ini menyiratkan ketahanan Bitcoin di tengah ketidakpastian yang melanda perekonomian global serta meningkatnya ketegangan geopolitik akibat perang dagang.

Menurut data dari CoinGecko, harga Bitcoin mengalami sedikit kenaikan sebesar 1% dalam 24 jam terakhir, sementara kapitalisasi pasar mencapai sekitar $2,78 triliun dengan volume perdagangan mencapai $46,7 miliar. Stagnasi harga ini mencerminkan sikap hati-hati investor yang tetap waspada terhadap potensi resesi di Amerika Serikat dan dampak perang dagang yang kian membara antara negara-negara besar.

Salah satu faktor yang mendorong sentimen pasar adalah berita bahwa pemerintahan mantan Presiden Donald Trump tengah mempertimbangkan pembelian Bitcoin dengan menggunakan pendapatan dari tarif perdagangan. Langkah ini dinilai sebagai bagian dari strategi diversifikasi cadangan nasional Amerika Serikat. Di sisi lain, sentimen positif juga muncul dari masuknya modal baru ke dalam ETF Bitcoin spot, yang mencatatkan arus masuk sebesar USD1,47 juta pada 14 April 2025 setelah sebelumnya mengalami arus keluar selama tujuh hari berturut-turut.

Oscar Darmawan, CEO Indodax, menilai fluktuasi harga dalam beberapa hari terakhir menunjukkan respons pasar terhadap kebijakan perdagangan global yang kurang pasti dan rendahnya likuiditas di akhir pekan. Dia menjelaskan, “Kenaikan singkat ke level USD86.000 beberapa waktu lalu dipicu oleh reaksi pasar terhadap kabar pengecualian tarif, yang memberikan nafas segar sementara. Namun, rendahnya likuiditas di akhir pekan dan ketidakjelasan arah kebijakan perdagangan AS membuat pasar kembali ragu, sehingga harga terkoreksi ke bawah USD84.000.”

Darmawan juga menekankan bahwa adopsi institusi terhadap Bitcoin, seperti ETF dan potensi kebijakan pemerintah AS, menunjukkan bahwa aset digital ini mulai dipertimbangkan secara serius oleh pengambil keputusan. “Narasi bahwa Bitcoin adalah alat spekulatif perlahan mulai tergantikan dengan posisi Bitcoin sebagai penyimpan nilai jangka panjang,” tuturnya.

Pemerintah AS yang mempertimbangkan akumulasi Bitcoin menjadi pertanda positif bagi kepercayaan terhadap teknologi blockchain. Jika negara besar seperti AS semakin terbuka terhadap Bitcoin, bukan hanya investor ritel namun juga lembaga keuangan dan negara lain akan semakin percaya diri dalam berinvestasi di aset digital ini.

Namun, Oscar Darmawan juga mengingatkan bahwa potensi gangguan makroekonomi, seperti konflik dagang yang berkepanjangan, tetap harus diwaspadai. “Bitcoin memang menjadi alternatif investasi yang sudah teruji, tetapi investor perlu disiplin dalam manajemen risiko. Jangan hanya berinvestasi karena euforia sesaat,” tegasnya.

Dalam situasi pasar yang penuh ketidakpastian ini, Oscar merekomendasikan penggunaan strategi investasi jangka panjang seperti Dollar-Cost Averaging (DCA). Strategi ini dinilai efektif untuk mengurangi tekanan emosional ketika menghadapi volatilitas pasar, terutama saat kondisi ekonomi global tidak stabil.

“Saat harga Bitcoin saat ini berada di titik konsolidasi, DCA dapat menjadi strategi yang tepat untuk para investor yang ingin menghindari risiko besar sambil tetap berpartisipasi dalam potensi pertumbuhan Bitcoin di masa depan,” tambah Oscar.

Dengan potensi lonjakan ketegangan geopolitik dan dampak perang dagang yang terus mengguncang pasar, investor harus tetap waspada dan membuat keputusan yang berdasarkan analisis yang cermat serta pemahaman mendalam tentang risiko yang ada di pasar aset digital. Seiring dengan perkembangan berita dan informasi yang mempengaruhi ekonomi global, harga Bitcoin bisa saja mencerminkan pergeseran lebih lanjut dalam dinamika investasi dalam waktu dekat.

Berita Terkait

Back to top button