![Perang Dagang Dimulai: Bank Indonesia Pantau Dampak Ekonomi RI](https://octopus.co.id/wp-content/uploads/2025/02/Perang-Dagang-Dimulai-Bank-Indonesia-Pantau-Dampak-Ekonomi-RI.jpg)
Bank Indonesia (BI) saat ini tengah mengawasi dengan seksama dampak dari pertikaian dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, yang berpotensi memengaruhi kondisi ekonomi Indonesia. Pengenaan tarif dagang oleh AS terhadap produk-produk China telah menciptakan dinamika baru dalam hubungan perdagangan global, yang pada gilirannya dapat berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi dan keputusan suku bunga acuan BI Rate.
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi & Moneter (DKEM) Bank Indonesia, Juli Budi Winantya, menjelaskan bahwa stabilitas nilai tukar rupiah, tingkat inflasi, dan pertumbuhan ekonomi menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan BI Rate. “Dampaknya terhadap suku bunga bagaimana? Pertimbangannya sama, sehingga dampak dari kebijakan Trump akan kita lihat bagaimana dampaknya terhadap tiga faktor itu,” ungkapnya dalam acara Pelatihan Wartawan BI yang berlangsung di Kantor Perwakilan BI Aceh.
Salah satu risiko utama yang bisa muncul akibat ketegangan ini adalah perlambatan kinerja ekspor Indonesia. Mengingat China adalah mitra dagang utama Indonesia, ketika mereka tertekan oleh kebijakan tarif dari AS, negara kita mungkin merasakan dampak negatif terhadap volume ekspor. Juli juga mengingatkan potensi terjadinya lonjakan produk asal China yang akan memasuki pasar Indonesia, mengingat keterbatasan ekspor China ke AS.
Namun, di tengah tantangan tersebut, Juli menegaskan bahwa Indonesia masih mempunyai peluang yang dapat dimanfaatkan. Salah satunya adalah peningkatan potensi pasar ekspor yang bisa diambil dari negara-negara yang ditinggalkan oleh China akibat tarif yang diterapkan. “Jadi, banyak produk-produk dari Amerika Serikat, Vietnam ini yang punya kesamaan, sehingga apabila nanti seandainya tarif ini diterapkan, peningkatan tarif ini juga bisa kita manfaatkan peluang untuk juga meningkatkan ekspor,” jelasnya.
Lebih lanjut, pertikaian ini juga membuka kesempatan bagi Indonesia untuk menjadi lokasi tujuan investasi yang menarik. Melihat pengalaman di era pemerintahan Trump sebelumnya, banyak perusahaan yang mulai merelokasi investasi dari China ke Vietnam untuk menghindari tarif tambahan. Dengan Vietnam kini ikut dikenakan tarif yang sama, Indonesia dapat menjadi alternatif bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk melakukan relokasi.
“Tarif ini tampaknya digunakan AS tidak hanya murni karena alasan ekonomi, tetapi juga dipakai sebagai leverage untuk kebijakan politik AS,” tambah Juli, menyoroti kompleksitas di balik kebijakan perdagangan yang ada.
Dalam konteks ini, penting bagi BI untuk memantau dengan cermat bagaimana kebijakan yang diambil oleh AS dan respons dari China akan berkaitan dengan suku bunga acuan. Keterlambatan dalam pengambilan keputusan bisa membuat Indonesia terlambat dalam menyesuaikan kebijakan ekonomi yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan.
Data perdagangan Indonesia dengan China juga menjadi perhatian. Dalam beberapa tahun terakhir, China telah menjadi salah satu mitra dagang terbesar bagi Indonesia, dengan berbagai komoditas seperti batu bara, minyak sawit, dan produk elektronik. Dengan adanya tarif yang dikenakan oleh AS, potensi pergeseran pasar bisa menjadikan Indonesia lebih berdaya saing di arena global.
Sebagai langkah strategis, BI diharapkan bisa lebih responsif dalam menangani dampak negatif dari perang dagang ini. Kebijakan yang adaptif dan proaktif akan sangat penting dalam meminimalkan risiko inflasi serta menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Selain itu, pelaku pasar juga harus tetap waspada terhadap gejolak pasar yang bisa terjadi akibat dari perubahan kebijakan tersebut.
Mengingat pentingnya ketidakpastian global yang dipicu oleh kebijakan tarif AS, Bank Indonesia akan terus melakukan evaluasi dan monitoring terhadap dampak-dampak yang timbul. Respons yang cepat dan terukur akan membantu menjaga kestabilan ekonomi Indonesia di tengah tantangan yang ada. Setiap langkah yang diambil harus berfokus pada pemanfaatan peluang yang ada sekaligus meminimalkan risiko yang mungkin muncul akibat perang dagang internasional yang sedang berlangsung.