
Mpu Prapanca, penulis Kakawin Nagarakretagama yang terkenal, harus mengalami situasi yang dramatis dalam hidupnya. Dalam perjalanan kreatifnya menulis tentang sejarah Kerajaan Majapahit, ia dipaksa untuk mengungsi ke lereng gunung akibat hinaan yang dilontarkan oleh bangsawan setempat. Pengalaman pahit ini tercatat dalam sejarah sebagai dampak dari perubahan posisi dan hubungan sosial yang terjadi pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk.
Kakawin Nagarakretagama merupakan salah satu karya sastra penting yang menggambarkan kejayaan Majapahit di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk. Mpu Prapanca, yang menjabat sebagai dharmmadyaksa kasogatan, menjalani tugas penting dalam mencatat kunjungan raja ke berbagai daerah. Salah satu momen penting yang ia catat adalah perjalanan Hayam Wuruk ke Lumajang pada bulan Badra tahun 1281 Saka, bertepatan dengan sekitar Agustus hingga September 1359 Masehi. Pengalaman tersebut menjadi inspirasi baginya untuk menulis karya monumentalnya.
Namun, enam tahun setelah kunjungan tersebut, yaitu pada bulan Aswina tahun 1287 Saka atau sekitar September hingga Oktober 1365 Masehi, Mpu Prapanca mengalami pergeseran posisi. Dalam bukunya yang berjudul “Tafsir Sejarah Nagarakretagama”, sejarawan Prof. Slamet Muljana mengungkapkan bahwa ada banyak perubahan yang dapat terjadi dalam waktu yang panjang tersebut, yang mengakibatkan penggeseran status seorang pejabat.
Kondisi Mpu Prapanca semakin memprihatinkan ketika ia menyadari bahwa pada tahun 1365, ia tidak lagi dekat dengan Prabu Rajasanagara atau Hayam Wuruk seperti sebelumnya. Dalam pupuh ke-94 yang tercantum dalam Nagarakretagama, terdapat ungkapan harapan agar raja tidak melupakan penciptanya yang telah berusaha keras untuk menggubah karya tersebut. Ini menunjukkan bahwa Mpu Prapanca kini berada di tempat yang jauh dari istana dan tak lagi memiliki akses yang sama dengan kekuasaan.
Latar belakang situasi ini semakin jelas dalam pupuh ke-12, yang menyebutkan bahwa dharmmadyaksa kasogatan yang baru adalah Rengkanadi, tinggal di luar benteng istana, sementara Mpu Prapanca telah lebih dulu terasing. Dalam penjelasan lebih lanjut, pupuh ke-95 menguraikan bahwa sang penggubah Kakawin Nagarakretagama tinggal di lereng gunung di Desa Kamalasana, merasakan kesedihan dan kesepian akibat ditinggalkan oleh teman-teman lamanya.
Hinaan dari bangsawan, termasuk dari mereka yang bergelar dyah, menjadi salah satu alasan utama Mpu Prapanca memilih untuk menjauh dari kehidupan perkotaan yang sibuk. Keterasingan ini menggambarkan bagaimana seorang seniman yang pernah dihargai bisa terpuruk karena dinamika sosial dan politik yang terjadi. Dalam naskah yang ditulisnya, ia mengekspresikan perasaan kehilangan dan kerinduan akan kata-kata manis yang pernah ia terima saat berada dekat dengan penghormatan dan pengakuan yang layak bagi seorang penulis agung.
Kakawin Nagarakretagama akhirnya diselesaikan pada tahun 1365, saat Mpu Prapanca sudah menjadi seorang pertapa yang menulis di bawah bayang-bayang kesedihan dan keterasingan. Meskipun ia tidak mengharapkan karyanya tersebar luas di istana Majapahit, tujuannya tetap sama: memuji Hayam Wuruk dan mendoakan agar kerajaan tetap berkuasa.
Kini, kisah Mpu Prapanca dan Kakawin Nagarakretagama menjadi bagian penting dari sejarah Indonesia. Mengingat karyanya yang monumental, kita bisa belajar tentang betapa rapuhnya posisi seorang seniman dalam dinamika sosial yang lebih besar. Tindakan terasingnya Mpu Prapanca bukan hanya merupakan refleksi dari situasi kehidupannya, tetapi juga mencerminkan tantangan yang sering dihadapi oleh para kreator di tengah hiruk-pikuk sejarah yang terus berubah.