
Penangkapan mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) memicu reaksi beragam di kalangan masyarakat Filipina. Sementara sebagian mendukung penangkapan tersebut, kelompok yang lebih besar menunjukkan kecaman keras terhadap langkah yang diambil ICC. Menurut mereka, tindakan ini menciptakan polarisasi yang semakin dalam di masyarakat Filipina.
Adnan Alonto, mantan Duta Besar Filipina untuk Arab Saudi yang kini tinggal di California, menyatakan bahwa penangkapan Duterte mencerminkan ketidakpercayaan terhadap pemerintahan saat ini di bawah kepemimpinan Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. Alonto berargumen bahwa pemerintah ini sebelumnya berkomitmen untuk tidak bekerja sama dengan ICC, dengan dalih terdapat sistem peradilan yang mampu berfungsi dengan baik di dalam negeri. “Membiarkan penangkapan ini melanggar dan mengurangi integritas cabang peradilan,” tandasnya.
Sementara itu, Arnedo Valera, seorang pengacara hak asasi manusia internasional dan anggota partai Hakbang ng Maisug, menyebut penangkapan Duterte sebagai “penyalahgunaan kekuasaan yang sembrono.” Valera menegaskan bahwa langkah tersebut adalah kesalahan politik yang signifikan bagi pemerintah Marcos, yang dapat mengakibatkan perpecahan dalam komunitas militer dan kepolisian Filipina. “Tindakan kurang ajar ini akan menghancurkan koalisi penguasa Marcos yang rapuh dan dapat memicu gelombang protes massa,” ungkapnya.
Reynaldo Aralar Jr., seorang pendukung setia Duterte yang bermukim di AS, melabeli penangkapan tersebut sebagai “penculikan internasional.” Ia menyesalkan bahwa tindakan ICC menunjukkan ketidakberdayaan atas kedaulatan Filipina. Aralar mencatat bahwa Filipina telah resmi keluar dari ICC pada 17 Maret 2019, sehingga ia mempertanyakan yurisdiksi ICC atas penangkapan ini. “Apa yang terjadi dengan kedaulatan Filipina? Tidak ada pejabat tinggi yang berbicara tentang ini, yang mengganggu,” kata Aralar.
Teresa Opaon-Ali, pendukung perempuan Duterte dari Davao, berpendapat bahwa penangkapan ini merupakan upaya vampir oleh Presiden Bongbong Marcos untuk menghentikan potensi pencalonan Sarah Duterte sebagai presiden di masa depan. Ia menambahkan, “Ini adalah pengkhianatan, tidak ada kesetiaan dan rasa terima kasih setelah Duterte membantunya menang.” Opaon-Ali juga menyatakan bahwa langkah ini memalukan bagi ICC karena Duterte dianggap telah melakukan banyak hal positif selama masa jabatannya.
Di sisi lain, berbagai reaksi juga datang dari kalangan akademisi di negara tetangga, Indonesia. Anak Agung Banyu Perwita, seorang pakar hubungan internasional, menilai penangkapan ini sangat disayangkan. Ia menjelaskan bahwa meskipun tidak ada masalah dari sisi hukum, pendekatan hukum yang keras terhadap kejahatan narkotika menjadi hal yang perlu diperhatikan. “Negara ini sepenuhnya berdaulat menjalankan politik hukumnya,” ujar Perwita.
Pemerintah Indonesia sendiri berpendapat bahwa isu-isu antara negara anggota ASEAN seharusnya diselesaikan melalui saluran dalam kawasan, bukan melalui lembaga eksternal seperti ICC. “ASEAN telah membangun sebuah komitmen untuk menyelesaikan permasalahan regional. Kami perlu menegaskan kembali sikap bahwa masalah ini sebaiknya diselesaikan di dalam kawasan,” tutup Perwita.
Semua reaksi ini mencerminkan ketegangan yang berkembang di dalam masyarakat terkait penangkapan Duterte, menggambarkan bagaimana langkah hukum internasional dapat memicu kontroversi dan membelah opini publik di dalam negeri. Situasi ini juga menunjukkan tantangan yang dihadapi pemerintah Marcos dalam menjaga stabilitas jalannya pemerintahan di tengah kritik yang muncul.