PEBS FEB UI: Regulasi Asuransi Hambat Aksesi RI ke OECD

Regulasi ketat di sektor perasuransian Indonesia menjadi perhatian serius di tengah upaya pemerintah untuk melakukan aksesi ke Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Dalam acara Launching Policy Brief PEBS FEB UI yang digelar di Jakarta Pusat, Rahmatina Awaliah Kasri, Kepala Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menyampaikan bahwa tingginya tingkat restriksi di pasar asuransi menjadi salah satu faktor penghalang bagi Indonesia untuk bergabung dengan OECD.

Rahmatina menyoroti bahwa regulasi di sektor asuransi di Indonesia lebih ketat dibandingkan negara lain. Ia mencontohkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2018 yang membatasi kepemilikan asing di perusahaan asuransi syariah hanya sebesar 80%. “Regulasi tersebut berpotensi membatasi masuknya investor asing ke dalam sektor asuransi syariah,” ungkapnya. Menurut laporan Service Trade Restrictiveness Index dari OECD, sektor asuransi Indonesia memiliki skor restriksi yang rendah, yaitu 0,53, menempatkannya sebagai salah satu yang paling ketat di dunia.

Dalam upaya memperkuat sektor asuransi, terutama asuransi syariah, PEBS FEB UI mengusulkan lima kebijakan yang perlu diperhatikan. Pertama, penguatan investasi dan industri asuransi syariah. Kedua, peningkatan kapasitas pemodalan perusahaan asuransi syariah. Ketiga, peninjauan kembali regulasi yang ada di industri asuransi syariah. Keempat, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dalam industri ini. Kelima, penetapan yang lebih jelas terkait pasar dan daya tarik investasi syariah. “Kami berharap masukan ini dapat memperkuat kolaborasi di antara seluruh pemangku kepentingan ekonomi syariah di Indonesia,” ujar Rahmatina.

Telisa Aulia Falianty, seorang Guru Besar dari FEB UI, turut menambahkan bahwa Indonesia akan mendapatkan banyak manfaat jika berhasil menjadi anggota OECD. Bergabung dengan organisasi tersebut akan memungkinkan Indonesia untuk mengadopsi praktik internasional dengan standar tinggi. Namun, Telisa juga mengingatkan bahwa pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah yang signifikan sebelum dapat memenuhi standar OECD. Ia mencatat bahwa banyak negara OECD telah mengembangkan kerangka regulasi yang mendukung transparansi dan stabilitas sektor keuangan syariah.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya mengungkapkan bahwa pemerintah siap mengirim Initial Memorandum aksesi ke OECD pada bulan Juni 2025. Airlangga juga melakukan kunjungan kerja ke Paris, Prancis, untuk mempercepat proses aksesi Indonesia menjadi anggota penuh OECD. Ia menyatakan bahwa pemerintah memprioritaskan peningkatan daya saing, produktivitas, dan investasi untuk menciptakan lapangan kerja di Indonesia.

Sebagai langkah strategis, Airlangga menyebutkan bahwa Indonesia harus melakukan transformasi struktural sebelum dapat diterima di OECD, termasuk memperluas akses pasar, permodalan, keterampilan, dan teknologi. “Indonesia akan mempercepat penyelarasan seluruh substansi instrumen OECD,” terangnya. Ia menargetkan bahwa proses aksesi akan diselesaikan dalam jangka waktu tiga sampai empat tahun ke depan.

Dengan latar belakang ini, jelas bahwa regulasi ketat di sektor asuransi terus menjadi tantangan bagi Indonesia dalam upayanya untuk meningkatkan daya saing dan memastikan aksesi yang sukses ke OECD. Para stakeholders di industri diharapkan dapat berkolaborasi untuk mendorong reformasi yang diperlukan agar Indonesia dapat memenuhi standar internasional dan meraih manfaat dari bergabung dengan OECD.

Back to top button