PBB: Pengungsi Bencana Iklim Capai Rekor Tertinggi di Dunia

Ratusan ribu orang terpaksa mengungsi akibat bencana iklim yang terjadi pada tahun lalu, menurut laporan tahunan dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), yang merupakan badan cuaca dan iklim yang berada di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Laporan tersebut menunjukkan bahwa jumlah pengungsi akibat bencana iklim telah mencapai rekor tertinggi, dengan dampak yang paling parah dirasakan oleh negara-negara miskin di seluruh dunia.

WMO mencatat bahwa fenomena seperti siklon, kekeringan, dan kebakaran hutan telah memaksa banyak orang meninggalkan rumah mereka. Di Mozambik, misalnya, sekitar 100.000 orang kehilangan tempat tinggal mereka akibat dampak dari Siklon Chido. Namun, negara-negara kaya juga tidak luput dari bencana ini. Di Spanyol, banjir di kota Valencia telah merenggut 224 nyawa dan menyebabkan banyak orang harus dievakuasi dari rumah mereka. Di Kanada dan Amerika Serikat, lebih dari 300.000 orang juga terpaksa mengungsi akibat kebakaran hutan yang melanda wilayah tersebut.

Dalam merespons situasi darurat ini, PBB menekankan pentingnya penguatan sistem peringatan dini yang menyeluruh di seluruh dunia. Kepala WMO, Celeste Saulo, menyoroti upaya global yang semakin intensif untuk memperkuat sistem tersebut. “Kami ingin semua orang di dunia tercakup oleh sistem peringatan dini pada akhir tahun 2027,” ungkapnya. Saat ini, hanya setengah dari negara di seluruh dunia yang memiliki sistem peringatan dini yang memadai, sehingga perbaikan dan peningkatan menjadi sangat mendesak.

Sistem peringatan dini yang efisien dan efektif dapat membantu masyarakat untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana alam yang disebabkan oleh perubahan iklim. Menurut data yang berhasil dihimpun oleh Pusat Pemantauan Pengungsi Internasional (IDMC), yang telah mengumpulkan informasi terkait pengungsi akibat bencana sejak 2008, tren peningkatan jumlah pengungsi akibat bencana iklim menjadi sebuah ancaman yang harus segera ditangani.

Tidak hanya bencana iklim yang memicu pengungsian, laporan tersebut juga menunjukkan bahwa indikator perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia mencapai titik tertinggi pada tahun 2024. Ini menunjukkan bahwa pemanasan global yang tidak terkendali dapat mengakibatkan berbagai bencana yang lebih parah di masa mendatang. Seiring dengan itu, kepala PBB, Antonio Guterres, memperingatkan bahwa meskipun ada tanda-tanda bahaya yang jelas dari perubahan iklim, ada harapan untuk membatasi kenaikan suhu global jangka panjang hingga 1,5 derajat Celsius.

Laporan yang sama juga mencatat bahwa tahun 2024 adalah tahun terhangat dalam catatan pengamatan selama 175 tahun terakhir, dengan suhu rata-rata permukaan global mencapai 1,55 derajat Celsius lebih tinggi dari tingkat pra-industri. Dengan pemanasan laut dan pencairan es di Antartika yang terus berlangsung, para ilmuwan menyatakan perlunya langkah-langkah yang lebih cepat dan lebih ambisius untuk menangani masalah ini.

Dalam situasi yang mendesak ini, investasi dalam layanan cuaca, air, dan iklim dinilai sangat penting untuk membangun masyarakat yang lebih aman dan tangguh terhadap bencana. WMO dan komunitas global terus berupaya bekerjasama dengan ilmuwan dan negara di seluruh dunia untuk memperkuat kapasitas pemantauan dan mitigasi risiko yang diakibatkan oleh perubahan iklim.

PBB terus mendesak seluruh negara untuk mengutamakan tindakan pencegahan dan membangun ketahanan iklim yang lebih baik. Dengan meningkatnya jumlah pengungsi akibat bencana iklim, penting bagi masyarakat internasional untuk berkolaborasi dalam menciptakan solusi yang berkelanjutan dan memperkuat solidaritas antarnegara dalam menghadapi tantangan perubahan iklim yang semakin kompleks.

Back to top button